👉Depresi

213 19 0
                                    

⚠Warning!!⚠
🚫Bab ini mengandung unsur self injury. Bagi yang kurang nyaman, harap untuk tidak lanjut membacanya!🚫






***

My body isn't a book, dont judge it! My face isn't a mask, dont cover it! My life isn't a movie, dont end it!
-unknown

***

Aku tak tahu apa yang membuat Anin terlihat marah pagi ini. Yang kutahu adalah, akulah pelampiasannya pagi ini.

Aku hanya diam menerima perlakuan Anin sejak tadi. Tak memiliki niat berontak sama sekali.

Bruk.

Untuk kesekian kalinya Anin mendorongku, hingga aku tersungkur di lantai.

Teman-teman yang lain, asyik menonton pertunjukan menarik antara aku dan Anin.

Para guru sedang mengadakan rapat. Jadi, mereka tak khawatir aksinya kali ini akan tertangkap basah oleh guru.

Tok Tok Tok.

Ketukan pelan itu, sontak membuat Anin menghentikan gerakan tangannya yang hendak menjambak rambutku. Semua orang mengalihkan tatapannya ke arah pintu.

Dengan ragu, salah satu anak kelasku membukakan pintu.

Anin sudah siap di posisinya, menutupi tubuh besarku yang bentuknya sudah tak lagi karuan.

Rambut yang berantakan, wajah yang semerah tomat, mata yang berair, seragam yang tak lagi rapi. Semua itu sudah cukup menjadikanku badut kelas ini.

"Eh, Ka Arvin, ada perlu apa?"

"Ini, gue mau nyampein tugas dari wali kelas lo!"

"Oh, makasih ka!" Dara buru-buru, hendak kembali menutup pintu kelas.

"Gue juga mau manggil Chantika, ada?" Pertanyaan dari Ka Arvin mampu membuat seisi kelas terdiam.

Aku maju, tentu saja aku tidak maju dengan penampilan berantakan tadi. Aku berusaha secepat mungkin merapikan tampilanku.

Tapi, serapi apapun penampilanku, bekas merah dipipiku tak akan bisa hilang dengan mudah. 

"Ikut gue!" Aku mengikuti langkahnya dengan ragu.

Setiap kelas yang aku lewati terdengar sangat ribut. Tapi tak ada satupun dari mereka yang berani keluar dari kelasnya masing-masing.

Hanya kami berdua, makhluk yang berada di luar kelas.

Langkah Ka Arvin terhenti di taman belakang sekolah. Aku sedang menunduk, jadi tak terlalu memperhatikan langkah Ka Arvin yang terhenti, tak sengaja aku menabrak punggungnya.

"Eh, maaf Ka."

"Nggak apa-apa!"

Kami terdiam cukup lama, aku masih menundukan kepala, tak berani menunjukan wajah merahku.

"Udah lama?" tanyanya sambil mengelus pelan pipiku yang terasa sangat perih.

Aku mengangguk pelan, mengerti arah percakapan ini.

Bagaimana ia bisa tahu? Mungkin tadi Ka Arvin tak sengaja mendengar teriakan-teriakan hinaan untukku.

"Kenapa nggak di lawan?"

"Setidaknya, keadaan tidak akan bertambah buruk kalau Chan tetap diam." jawabku sedikit ragu.

"Tapi setidaknya lo harus coba!"

ChantikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang