👉Si "Papan Penghalang"

208 23 1
                                    

Sejak kejadian Anin mengamuk di depan kelas, hanya butuh waktu dua minggu untuk menjadi viral. Tentu dengan judul yang sedikit melenceng.

'Si Gadis Babi yang Jatuh Cinta'

Tapi aku tak terlalu ambil pusing tentang hal itu.

"Wah ... wah ... wah ... si anak baru udah jadi trending topic number one aja nih di sekolah!" Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja Dara duduk di bangku Ucup yang sudah lama kosong.

"Eh gembrot! Lo mau tahu gak kenapa Ucup pindah tempat duduk?" Walaupun penasaran, aku mencoba terlihat tak peduli.

"Lo yang suruh kan?" balasku sedikit memberanikan diri.

"Enak aja lo nuduh !" Suara sarkas Anin menjawab pertanyaan Chantika kepada Dara yang tiba-tiba muncul dihadapannya. Beberapa teman sekelasnya, termasuk Anin, Leta dan, Dara sedang berkutat dengan peralatan make up di belakang kelas, berkumpul layaknya ibu-ibu yang sedang arisan.

"Ucup pindah tempat duduk, gara-gara lo kegedean. Kasian dia kesempitan kalau duduk berdua sama lo!"

Aku menatap Ucup yang sedang berkumpul dengan teman-temannya di meja guru. Aku tak percaya akan perkataan Dara. Ucup adalah satu-satunya anak di sekolah ini yang pernah mengobrol denganku.

Entahlah, tapi rasanya aku sedikit kecewa dengan sikap berlebihan Ucup. Aku melihat Ucup menolehkan kepalanya ke arahku, buru-buru aku memalingkan wajah ke belakang, pura-pura tertarik dengan berbagai macam make up.

"Ngapain lo lihat-lihat? Mau di make up juga hah?!" tanya Leta sarkas.

"Percuma kali lo di make up! Gendut sih gendut aja!" ujar salah satu dari mereka. Entahlah dia siapa, sampai sekarang aku tak begitu hafal nama teman sekelasku.

"Lagian, gue belum pernah denger tuh, raksasa pakai make up!" Kini tak hanya Anin dan antek-anteknya yang mencemooh kekuranganku, tapi teman-teman sekelas lainnya mulai angkat suara tentang aku yang gendut ini. Beberapa anak kelas lain juga mulai memanggilku dengan seenaknya.

Karena panggilan 'kapal oleng' sudah dikenal semua orang di sekolah ini, mereka mulai memanggilku dengan sebutan 'lucu' itu. Bahkan, banyak dari mereka yang tak tahu sama sekali nama asliku.

Kriiing .....

Aku cepat-cepat bangkit, muak dengan semua olok-olok teman kelasku.

"Kok main tinggalin aja sih Dut? Tungguin dong! Kita bareng-bareng ke lapangnya!" Anin dan Dara berjalan di sampingku, bersikap seolah kami adalah teman dekat. Leta berjalan di belakang, bersama ... Mika.

Pasti mereka ada maunya.

Tak mungkin mereka mau berjalan bersamaku. Aneh, kali ini mereka berjalan menuju barisan kelas kami.
Biasanya saat upacara Anin dan teman-temannya akan berbaris di tempat adik kelas, mencari tempat teduh.

Barisan kelasku bertempat tepat di tengah-tengah lapangan upacara. Tempat yang paling banyak menarik perhatian terik matahari.

"Chantika! Lo baris paling depan dong! Badan lo kan lebar, biar gue sama temen-temen bisa ketutupan sama badan besar lo!"

Sudah kuduga mereka pasti ada maunya.

Mau tak mau aku harus mengikuti keinginan mereka atau memilih berurusan dengan mereka di jam pelajaran.

"Geser dikit dong!" Kini, kepala sekolah sedang menyampailan amanatnya. Tapi, telingaku dipenuhi suara-suara perintah yang berseru-seru di belakang sana.

Aku menggeserkan badanku sedikit ke kanan. "Bukan ke kanan bego! Ke kiri dikit, buruan gue pegel nih berdiri terus dari tadi!"

Sementara itu aku hanya bisa diam, menuruti perintahnya. Menutupi beberapa anak yang berjongkok di belakangku.

"Lo terlalu ke kiri, gendut! Bisa-bisa kita ketahuan sama Bu Suci, berdiri aja kok gak becus."

Aku diam.

"Heh gembrot, ke kanan dikit!"

Namun, aku tetap diam.

Sampai suara bentakan dari mereka berganti menjadi suara nan lembut yang mengalun indah di telingaku.

"Kalau pusing, ke UKS aja! Gue anterin deh, daripada nanti pingsan," ujarnya dengan senyum lembut.

Ah, kak Arvin. Gawat gue gak boleh deket-deket sama dia, atau nanti Anin ngamuk lagi.

Chantika tak ingin kejadian dua minggu yang lalu terulang kembali. Ia memilih menghindari kak Arvin, menjauhinya beberapa langkah.

"Lo gak usah takut sama gue kali ... sini gue anter ke UKS, muka lo udah pucet banget soalnya," ujar kak Arvin sambil kembali mendekatkan kembali tubuhnya padaku. "Mmm ... gue khawatir!"

Di tengah kecanggungan Chantika dan kak Arvin, semua orang yang berdiri di sekitar situ hanya bisa melongo tak percaya. Tak berani mengeluarkan suara.

"Ikut gue!" Suaranya tetap lembut, tapi terdapat nada perintah dalam kalimat kali ini.

Ternyata, kak Putra datang, menarik paksa tanganku.

"Maaf kak, gue bisa sendiri kok!" ucapku sedikit canggung.

Alhasil, aku berjalan di antara dua pentolan sekolah ini, menggiringku ke UKS, diikuti tatapan tak terima dari Anin dan teman-temannya.

Kak Arvin memberiku segelas teh hangat. Kuterima dengan ragu.

Aku sedikit canggung saat menyadari bahwa sedari tadi kak Putra menatapku dari ujung ruangan.

Aku memalingkan wajahku ke sembarang arah, menghindari tatapan kak Putra.

Tak sampai lima menit keadaan canggung ini berlangsung, Bu Suci datang dengan membawa tasku di tangannya.

"Chantika kamu boleh pulang saja. Saya khawatir dengan keadaanmu."

***

Aku sampai di rumah dengan diantar oleh satpam sekolah. Awalnya kak Arvin dan kak Putra bersikeras hendak mengantarku pulang. Tentu saja hal itu kutolak mentah-mentah.

Sesampainya di rumah, aku melihat mama yang sedang bersantai di ruang tamu.

"Lo? Mama gak ke butik?" tanyaku heran.

"Loh? Kok kamu sudah pulang Chan?" tanya Mama tak peduli dengan pertanyaanku sebelumnya.

"Chan gak enak badan, Ma. Mama kok gak kerja?" tanyaku kembali.

"Mama juga kurang enak badan Chan, same with you!" jawab mama enteng. Aku hanya mengangguk pelan, ikut duduk di samping mama yang sedang menonton acara TV.

"Chan gimana abang?" tanya mama tiba-tiba.

"Abang? Abang baik kok, sangat baik!"

ChantikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang