Fat is not a deficiency, but it is an advantage.
-Chantika***
Sudah dua minggu sejak kejadian mereka menengok mamaku di rumah sakit. Sorenya mamaku bercerita, bahwa ia sangat senang melihat kedatangan teman-temanku. Mama mengira kami memang benar-benar akrab di kelas. Untung saja mama tak membahas tentangku di depan mereka.
Aku tak ingin sampai mereka tahu bahwa dia juga adalah mamaku.
Semakin hari, perlakuan Anin terhadapku juga semakin tak terkendali.
Selama ini aku selalu bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Tanpa mereka ketahui, justru aku menyimpan begitu banyak luka yang kususun dengan rapi, menjaganya agar tak meledak seketika.
Tapi tingkah Anin sudah melewati batas.
Aku bingung. Apa salahnya menjadi seperti ini. Tak pernah ada yang protes soal badan besarku.
Aku merasa tak berguna hidup di dunia. Untuk apa hidup jika tak bisa memiliki teman berbagi.
Orang bilang, bukan keadaan yang membuat hidup menjadi rumit, tapi kita sendirilah yang membuatnya rumit.
Bukan keadaan yang membuat hidup menjadi bahagia, tapi kita sendiri lah yang membuatnya bahagia.
Tapi bagaimana aku bisa bahagia? Jika keadaan tak pernah sekalipun berada di pihakku. Tak pernah mendukung posisiku.
Bukankah bahagia tak bisa dipaksakan kehadirannya?
Aku lelah dengan semua drama di kehidupan. Apa aku salah terlahir dengan keadaaan seperti ini? Kalau begitu kenapa tuhan membiarkanku hadir di dunia?
Apa aku hanya diciptakan untuk disakiti?
Salah, aku tahu ini salah.
Nyaliku selalu ciut ketika mendengar bentakan dari Anin, tak pernah berani melawan.
Tapi aku bukan mainan mereka yang bisa diperlakukan seenaknya.
Aku terlalu takut untuk melawan.
Tapi, aku tak bisa membiarkan hal ini terus berlangsung selama aku bersekolah di sini.
Aku harus berani. Aku tak bisa terus diam, bersembunyi layaknya pengecut.
Hari ini aku memutuskan untuk melawan mereka. Membangun kembali harga diriku yang nyaris hilang.
Tapi, perasaanku sungguh tak enak, hatiku menolak dengan keras tentang rencana ini. Tapi otakku berkata sebaliknya.
Aku tak boleh selalu mengalah. Tak boleh selalu meminta maaf akan kesalahan yang sama sekali tak kulakukan.
Aku menghampiri meja Anin. Ia duduk di sebelah Mika. Sedang mengobrol dengan Dara dan Leta.
"Ngapain lo kesini! Sana jauh-jauh, jangan rusak retina mata gue dengan badan besar lo itu!" Baru satu langkah aku mendekati mereka, Leta sudah mengusirku dengan kasar, seakan-akan aku adalah binatang yang menjijikan.
Dan bodohnya aku. Aku malah membalikan badan. Kembali ke tempat dudukku.
Aku menyesal dengan keputusanku tadi, setelah susah payah mengumpulkan keberanian, aku mundur dengan mudahnya.
"Heh Beruang, mau lo apa tadi! Lo mau bicara sama gue?" Anin menghampiri mejaku seorang diri, tanpa ada Dara dan Leta di sampingnya.
Ini kesempatan emasku untuk berbicara pada Anin empat mata.
"Lo pasti mau tanya kenapa gue bisa langsing? Gue langsing alami, gak pakai obat! Tapi kalau lo mau tanya obat pelangsing, gue tau beberapa," jelasnya dengan nada penuh ejekan.
"Apa jangan-jangan lo mau minta makanan ke gue? Sorry, makanan gue sama lo beda kualitas kali!" lanjutnya, menyelaku yang hendak berbicara.
"Assalaamualaikum anak-anak!" Kedatangan Bu Aisyah membuat Anin kembali pergi ke bangkunya.
Namun, sebelum ia benar-benar pergi, tangannya mengambil buku tugasku yang ada di atas meja. "Pinjem ya! gue mau nyalin tugas!"
Aku mengulangi kebodohanku untuk yang kedua kalinya. Membiarkanku diperbudak oleh Anin.
"Gendut! Kami juga mau nyontek ya!" Kemudian Dara dan Leta juga melakukan hal yang sama terhadapku.
Aku baru sadar, selama ini mereka tak pernah benar-benar memanggil namaku, selalu memanggilku dengan seenaknya.
"Heh, gendut!"
"Iya gue gendut! Kenapa?!" Aku yang sedang kesal, tak memperhatikan siapa lawan bicaraku.
Anin menatapku heran, tak percaya bahwa tadi aku baru saja membentaknya.
Aku saja tak percaya dengan keberanianku. Tiba-tiba rasa takut langsung menyelimuti seluruh tubuhku. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah memulai perlawanan itu, mau tak mau aku juga harus mengakhirinya.
"Heh gendut! Berani lo ngelawan kami?!" Dara tak terima akan aku yang sudah tak lagi tunduk kepada mereka.
"Iya gue gendut kenapa?!" tanyaku, mengulang kembali pertanyaanku tadi.
"Lo gendut, jelek, nggak pantes hidup tau nggak?" Bentakan dari mereka semakin menggila, membuat kelas menjadi hening. menatap kearahku.
Tak ada satupun dari mereka yang berani angkat suara.
"Asal lo tahu ya! Gue tuh orang kaya, makanya gue beli semua makanan yang nggak mampu kalian beli. Emangnya kalian, makan sebanyak apapun gak tumbuh-tumbuh. Dasar cacingan!"
Entah dapat keberanian dari mana, tapi kalimat tadi mengalir begitu saja. Membuat kelas semakin hening.
Aku lega melihat wajah pias Anin, ia terlihat kesulitan menahan amarahnya. Awalnya aku mengira ia akan membalas perkataan tadi.
Aku panik seketika, berusaha merangkai kata untuk kembali melawan Anin. Tapi rupanya ia tetap diam. Menatapku sengit, lalu berbalik pergi.
Aku tersenyum puas akan hasil keberanianku. Melupakan resiko besar yang akan terjadi dikemudian hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chantika
Teen Fiction[Completed] Menurutmu, definisi cantik itu seperti apa? Putih? Tinggi? Langsing? Jika memang begitu menurut kalian, tendang jauh-jauh namaku dari pikiran kalian. Namaku memang Cantik, tapi bukan berarti aku memenuhi semua kriteria kecantikan yang ka...