BAB 11

6 3 0
                                    

Saat keluarga sedang berkumpul, biasanya akan banyak pembicaraan seru yang terjadi. Seperti membicarakan aktivitas hari itu, atau hal-hal menyenangkan lainnya.

Ya, wajarnya memang seperti itu.

Tapi tidak begitu untuk keadaan Athar dan keluarga. Bukan. Bukannya keluarga Athar itu enggak harmonis, cuma ini semua terjadi karena atmosfer yang berasal dari Ayahnya Athar. Kesan dingin dan kaku. Walaupun sebenarnya ada Bunda yang mencairkan suasana dengan celotehannya, tetap saja kesan canggung di antara Athar dan Ayah tidak juga tertutupi.

"Jadi...," Ayah membuka suara. "Kamu juara pertama di olimpiade kamarin, Thar?"

Tipe orangtua yang bingung membuka topik pembicaraan dengan anak. Sehingga hanya pendidikan saja yang diperhatikan oleh mereka.

Athar menghela napas, lalu mengangguk kecil. Tanpa berhenti menyuapkan nasi ke mulut.

Sebenarnya, Athar bukannya tidak akrab dengan Ayah. Hanya saja karena pekerjaan Ayah sebagai seorang polisi yang sering keluar kota, yang membuat Ayah jadi jarang di rumah. Sehingga tanpa disadari oleh mereka, jarak di antara Athar dan Ayah mulai terbentang. Belum lagi dengan karakter Ayah yang kaku dan terkesan 'dingin', yang membuat Athar terkadang merasa 'segan'.

Jika dengan Bunda yang ceriwis dan perhatian saja, Athar masih belum bisa terbuka, bagaimana Athar bisa terbuka dengan Ayah yang jarang ada di samping dirinya dan Bunda?

Saat dirasa kecanggungan mulai menguasai, Bunda buka suara. "Iya, Mas, Athar menang olimpiade lagi. Seperti biasa. Anak kita, kan, pinter." ujar Bunda sambil terkikik kecil.

Ayah tersenyum. "Tentu saja." Ayah menyesap minumannya, lalu kembali bicara. "Hanya karena Ayah jarang di rumah, bukan berarti Ayah tidak memperhatikan kamu dan pendidikanmu, Thar. Karena tanpa kamu tau, Ayah selalu bertanya pada wali kelasmu mengenai perkembanganmu." ujar Ayah dengan bahasanya yang kaku, seperti biasa.

Athar menatap Ayahnya untuk beberapa detik, lalu mengangguk. "Iya, Yah."

"Ayah masih berharap kalau kamu mau mengikuti jejak Ayah di dunia kepolisian, Thar. Dan untuk itu, kamu harus makin giat belajar, bahkan kalau bisa kamu ikuti banyak olimpiade. Karena saat kuliah nanti, itu semua akan jadi bahan pertimbangan."

Athar ingin bilang kalau dia muak. Tapi Athar tau itu tidak baik. Lagipula Athar selalu berpikir, kalau apa yang dilakukan Ayah untuk kebaikannya.

Tapi masalahnya, apa Ayah tidak bisa memberikan ruang pada Athar untuk bernapas sebentar saja?

***

Tata melangkahkan kakinya di sepanjang koridor kelas dua belas, menuju kelasnya. Sesekali menyapa ringan orang-orang yang dikenalnya, dan terkadang tersenyum singkat saat melihat orang-orang yang menyapanya juga.

Tata emang seramah itu. Makanya, banyak yang suka dengan Tata karena sifatnya yang satu itu.

Sebelum langkah Tata berhenti saat seorang pemuda berambut cepak dan bermata sipit, menatapnya sambil tersenyum. Menampakkan lesung pipit kecilnya yang ada di ujung bibir, serta matanya yang menjadi segaris.

"Baru dateng?" tanyanya, dengan senyum sejuta dolar.

Tata nyengir lucu. "Iyalah, masa mau pulang."

Cengiran polos Tata, membuat pemuda itu, Fathur, mengerutkan alisnya. Bertanya, -tanya dalam hati, kira-kira sikat gigi apa yang Tata gunakan? Kodomo? Pepsodent? Mungil-mungil sekali gigi-gigi itu, pikir Fathur. Fathur tidak sadar kalau ia sudah salah fokus.

"Hei, kenapa, sih? Ngeliatinnya begitu?" tanya Tata dengan mata mengerjap polos.

Lagi-lagi. Mata jernih itu membuat Fathur ingin menyelami lebih jauh. Fathur baru tau ada bola mata yang jernih dan sedalam itu. Bahkan Fathur sendiri bisa melihat refleksi dirinya. Seorang pemuda yang menatap gadis dengan sorot mata kekaguman yang nyata.

Fathur menggelengkan kepalanya. "Mau gue anter ke kelas?"

"Kenapa? Aku bisa sendiri kali." Tata tertawa kecil.

"Ya, enggak papa, takutnya ntar lo ketabrak sama siswa lain di tengah jalan, gimana? Gak ada yang tau."

"Ish, aku bisa menghindarlah."

Fathur tersenyum miring. "Ah, masa? Badan lo kan kecil, Ta, jadi pasti bakalan susah."

Tata cemberut.

Tapi tak urung akhirnya Tata mengangguk. Membiarkan dirinya kembali berjalan menyusuri koridor. Dengan Fathur di sisinya.

***

Selamat membaca:))



FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang