BAB 19

3 1 0
                                    

Athar membalik halaman buku Fisika yang sedang dibacanya. Membaca setiap kata perlahan. Mencernanya. Lalu tiba bayangan saat dirinya membentak Tata, mampu membuat konsentrasinya buyar.

Athar menghela napas berat.

Gila. Gila. Gila.

Athar terus merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa Athar tega membentak Tata seperti tadi? Kenapa Athar bisa lupa kalau Tata sangat takut dan nggak suka kalau dibentak seperti itu?

Athar membuka ponselnya, lalu menekan kolom chat antara dirinya dan Tata.

Athar: sorry (read)

Athar tahu, sih, Tata pasti marah padanya. Kesal dan kecewa. Jadi Athar nggak kaget kalau permintaan maafnya diabaikan seperti itu. Tapi tetap saja, kan, hal itu membuat hatinya berdenyut. Antara merasa bersalah dan juga khawatir.

Bahkan ketika Tata pergi dari kamarnya, Athar langsung mengakhiri acara telepon antara dirinya dan Amel. Dengan alasan kalau Bunda memanggilnya. Karena Athar nggak akan bisa fokus mendengarkan perkataan Amel, saat Athar malah sedang memikirkan Tata.

Padahal tadi Amel hanya menceritakan kalau gadis itu hampir menabrak saat sedang berkendara karena seorang ibu-ibu yang menyalakan lampu sein ke kanan, tapi malah belok ke kiri.

Bukannya itu cerita yang nggak penting? Lalu kenapa Athar bersikap seolah-olah hal itu lebih penting daripada mengajarkan Tata Matematika.

"Tharrr!!"

Teriakan Bunda yang berasal dari ruang keluarga mampu membuat lamunan Athar buyar. Athar menghela napasnya lagi, lalu bingkas berdiri dan menghampiri Bunda.

***

Tata memerhatikan Fathur yang duduk dihadapannya sambil membaca buku. Entah buku apa, Tata nggak tahu. Karena pikiran Tata sekarang malah sedang berkelana kemana-mana.

"Ta?" Fathur melambaikan tangannya dihadapan wajah Tata. Membuat Tata menoleh kaget, lalu mengerjapkan matanya dua kali.

"Ngelamunin apa, sih?"

"Oh, nggak kok."

Fathur mengangguk. Saat ini jam istirahat, dan Fathur mengajak Tata untuk mengobrol di taman belakang sekolah. Yang membuat teman-temannya mencibir kesal karena Fathur melarang mereka untuk ke tempat ini hari ini.

Tata melirik buku dipangkuan Fathur, lalu tersenyum saat tahu kalau buku itu adalah buku kumpulan puisi. Entah memang milik Fathur, atau cowok berlesung pipit itu meminjamnya dari perpustakaan sekolah.

"Itu," Fathur mendongak saat Tata bicara. "Buku Kalil Gibran, kan?"

Fathur terkekeh. Kemudian mengangguk.

"Ada apa, sih, sama puisi? Kamu kok kayaknya suka banget sama puisi?"

Fathur bingung. "Lho, emangnya nggak boleh? Lo juga suka puisi, bukannya?"

"Iya sih. Tapi maksudku, biasanya cowok lain itu jarang, lho, yang suka puisi kayak gitu."

"Itu, kan, cowok lain. Kalau gue sih, Fathur."

Mereka tertawa.

Tata menunduk memainkan kuku jarinya yang pendek. Karena habis dipotong kemarin. Entahlah kenapa Tata hari ini nggak mood bicara. Membuat Salsa di kelas terus menanyainya.

"Sebenernya, sih, gue punya alesan kenapa suka banget puisi."

"Apa?"

"Soalnya Ayah suka bikin puisi romantis gitu buat Ibu. Entah yang emang hasil ngarang sendiri, atau sekedar nyontek di google," Fathur tertawa kecil. "Tapi menurut gue itu romantis banget, sih. Pernikahan mereka itu udah bertahun-tahun, tapi setiap liat cara Ayah natap Ibu, gue liat cinta yang begitu besar dimata Ayah. Kayak cinta mereka itu nggak pernah luntur."

Tata diam mendengarkan.

"Ayah juga pernah bilang, kalau dulu pas ngelamar Ibu, Ayah bikinin Ibu puisi. Makanya Ibu mau sama Ayah."

Tata tertawa. "Jadi kamu kayak ter-inspirasi gitu, dari Ayahmu, ya?"

Fathur mengangguk.

Mereka diam. Dalam diam Fathur memerhatikan Tata dari samping. Rambut Tata yang nggak diikat terbang ditiup angin. Membuat Tata dimatanya jadi terlihat sangat manis.

"Ta," Tata menoleh pada Fathur. Menunggu ucapan Fathur selanjutnya. Fathur menggeleng. "Nggak jadi."

Fathur tersenyum melihat Tata menunjukkan raut bingung.

***





















FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang