BAB 25

2 1 0
                                    

Athar memandangi wajah Tata yang terlelap dihadapannya. Diluar orang-orang masih ramai. Sanak saudara Tata juga sudah hadir. Athar yang merasa kalau Tata butuh ketenangan, akhirnya membawa Tata kembali ke kamar.

Athar menghela napas, lalu menyingkirkan rambut Tata yang menutupi kening. Keadaan Tata sangat kacau. Hancur. Rambut berantakan, mata sembab dan bengkak, bibir pucat, bahkan gaunnya sudah tidak berbentuk lagi.

Athar menghapus air matanya yang kembali turun. Perasaan Athar tak kalah hancurnya. Athar juga kehilangan seseorang yang berarti. Athar sudah menganggap Om Gunawan, seperti Ayah kedua bagi Athar, karena Ayahnya yang jarang ada di rumah. Bagi Athar Om Gunawan adalah sosok pengganti Ayah. Yang nggak jarang juga selalu menasehatinya dan memberikan saran.

Tapi lebih dari itu, perasaannya sakit melihat gadis manis yang sedang terlelap ini kacau. Athar takut. Athar takut kalau Tatanya tak terselamatkan. Karena Athar sangat tahu betapa berharganya Om Gunawan bagi Tata. Om Gunawan adalah dunia Tata. Dengan kepergian Ayahnya, maka dunia Tata pun ikut hilang, bukan?

Athar membekap mulutnya dengan kepalan tangannya untuk menutupi isakannya. Air matanya kembali menetes mengingat percakapan mereka sebelum gadis ini terlelap.

Saat itu, Athar menyuruh Tata untuk merebahkan dirinya di kasur, lalu menyelimutinya. Kemudian disusul oleh Athar yang duduk dilantai dan menggenggam tangan Tata yang dingin.

"Ayah pergi, Thar," Tata kembali meneteskan air matanya, "Ayah ninggalin aku."

Athar menggeleng, "Nggak, Ta. Om Gun nggak ninggalin lo. Nggak ninggalin kita. Dia cuma pergi ketempat yang lebih indah. Tuhan lebih sayang Om Gun."

Dalam tangisnya, Tata menggeleng, "Aku hancur, Thar. Duniaku hancur. Apa Ayah nggak bisa liat sesayang apa aku sama Ayah? Kenapa Ayah tega ninggalin aku, Bunda, dan Thalia?"

Athar ditempatnya ikut menangis, "Ta, lo harus kuat. Lo harus kuat demi Bunda lo, Thalia, dan gue, oke?"

"Athar gak ngerti," Tata menatap Athar dengan tatapan tak terbaca, "Kamu gak ngerti gimana rasanya ditinggalin orang yang kamu sayang. Tanpa tanda, tanpa ada firasat apapun. Tiba-tiba itu semua terjadi didepan matamu."

Athar terdiam walau air mata masih menetes dipipinya. Ya, Athar belum pernah merasakannya. Athar belum pernah kehilangan orang yang berarti untuknya--dan Athar berharap itu jangan sampai terjadi.

"Ada gue, Ta." hanya itu yang bisa Athar katakan. Hanya kalimat penenang seperti itu yang bisa Athar berikan.

Perlahan, isakan Tata memelan, kemudian Tata menggenggam tangan Athar. "Jangan pergi, Thar. Sekarang cuma kalian yang kupunya."

Athar mengeratkan genggaman tangan Tata, "Iya. Gue janji."

Tata tidak tahu dengan melihat Tata serapuh ini, perlahan Tata turut menghancurkan hatinya.

Banyak yang bilang kalau waktu adalah pencuri. Tapi menurut Athar waktu bukan pencuri, waktu hanya menyadarkan pada manusia untuk sadar diri, bukan?

Terkadang manusia tidak sadar diri kalau waktu terus berjalan. Tidak pernah berhenti, tidak pernah menunggu. Bahkan saat manusia sibuk dengan dunianya, sampai lupa dengan keluarga, apa waktu menunggu manusia sampai sadar? Tidak. Waktu menyadarkan seseorang saat orang yang diacuhkannya selama ini telah tiada.

Manusia kadang suka menyia-nyiakan waktu. Berpikir kalau orang yang disayang akan selalu berada disamping kita. Kita mengacuhkannya, mengabaikan, tidak pernah menghabiskan waktu bersama. Tanpa sadar kalau waktu terus berjalan. Lalu saat orang itu pergi--baik sementara atau selamanya--hanya penyesalan yang tersisa.

Karena memang begitulah semesta bekerja.

Athar tidak ingin dirinya maupun orang terdekatnya mengalami hal seperti itu.

Karena sibuk menangis, Athar tidak sadar kalau dirinya ketiduran di lantai, dengan kepala yang menyandar di pinggir kasur. Dan tangannya yang masih tertaut dengan Tata.

***

"Hei."

Seorang gadis dengan gaun abu selutut, rambut tergerai dan tas selempang hitam, menoleh saat merasa sapaan itu tertuju untuknya.

Amel mengerutkan keningnya, "Lo manggil gue?"

Pemanggil--Fathur--mengangguk, "Iya." Fathur berdiri disebelah Amel, "Kayaknya Athar lagi sibuk. Mau sekalian pulang sama gue?"

Amel terdiam. Didalam hati, Amel meringis. Malam ini Amel sadar kalau memang ada sesuatu diantara Tata dan Athar. Sesuatu yang lebih dari seorang sahabat. Kebenaran dari gosip-gosip di sekolah yang didengarnya.

Fathur yang sadar kalau Amel terdiam, jadi bingung, "Emm..., lo kepikiran hal yang sama gak, sih, sama gue?"

"Hal apa?"

"Kalau kita nggak akan bisa ada diantara Tata dan Athar."

Amel tertegun. Fathur benar. Kalau pun bisa, mereka hanya akan jadi penghalang. Mereka hanya akan menghalangi perasaan antara Tata dan Athar. Amel nggak mau jadi seperti itu. Amel juga nggak mau jadi pilihan kedua. Bahkan saat ini pun, Athar seakan lupa kalau Amel masih ada disini. Ah, tapi Amel sadar, sih, saat ini Tata sedang sangat membutuhkan Athar. Amel tidak berhak cemburu. Amel tidak mau egois.

Amel mengangguk kecil, "Padahal gue berharap banget, sih, Athar bisa liat gue."

"Gue juga sama." Fathur menoleh pada gadis disampingnya, "Gue pikir perasaan gue terbalas, karena Tata yang selalu merespon setiap gue deketin dia. Tapi malam ini gue sadar, kalau itu nggak terjadi. Hati Tata cuma buat Athar."

Amel tergugu ditempatnya. Amel pengin menangis saja rasanya. Apalagi perkataan Fathur persis seperti yang dipikirkan olehnya.

"Iya, gue gak mau jadi penghalang." Amel menghembuskan napas panjang, "Jadi gue harus mundur, kan?"

Fathur tersenyum getir. "Kita," Fathur menghela napas, "Karena gue juga harus mundur."

Malam itu mereka sadar kalau cerita ini memang bukan tentang Amel-Athar atau Tata-Fathur.

Tapi tentang Tata-Athar. Tentang dua hati yang buta akan perasaannya sendiri. Berlindung dibalik kata persahabatan. Hingga akhirnya disanalah peran mereka berdua. Membuat Tata mau pun Athar sadar dengan perasaan yang mereka miliki untuk satu sama lain.

***

Hmmm, bentar lagi tamat kok. Jadi tetap ditunggu yaa.

Selamat membaca:))

Salam hangat,

pir💕

FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang