BAB 26

7 1 0
                                    

Sudah satu minggu sejak Ayahnya meninggal. Itu artinya sudah satu minggu pula sejak insiden kehancuran Tata. Tapi tetap saja, satu minggu belumlah cukup untuk menyembuhkan luka. Apalagi luka yang diderita oleh Tata. Karena lukanya bukanlah luka karena ditinggalkan oleh kekasih, tapi karena Tata yang kehilangan dunianya.

Sudah dari dua hari yang lalu Tata mulai kembali sekolah. Beraktivitas seperti biasa. Tapi kini, Tata seperti seorang robot. Tata tetap bergaul, mengobrol, dan bercanda, tapi bedanya Tata menjadi seorang yang pendiam. Tawanya tak lagi terdengar di kelas, bahkan kalau pun tersenyum, senyumnya tidak pernah sampai ke mata. Membuat teman-temannya diam-diam merasa iba.

"Ta, coba liat, deh, gue lagi nonton drakor ini, nih," Salsa menunjukkan ponselnya kehadapan Tata, "Seru banget. Lo mau file-nya gak? Gue udah download semua episodenya."

Tata yang sedang menuliskan rumus Fisika, langsung menolehkan kepalanya, tersenyum tipis, "Nggak, deh, Sa. Aku lagi gak mood nonton drakor."

Salsa menghembuskan napas. Kalau dalam keadaan biasa, Tata pasti akan nyengir, mengangguk antusis sambil memeluk Salsa dan mengatakan 'kamu sahabat terbaik aku'. Tapi coba lihat sekarang, Salsa nggak lagi melihat binar di mata Tata. Binar mata Tata, yang dulu selalu membuat orang merasa senang. Salsa nggak lagi bisa melihatnya.

"Ta?" Tata menolehkan kepalanya lagi, sambil mengerutkan kening, "Are you okay?"

Entah sudah keberapa kali Salsa menanyakan hal yang sama. Salsa nggak bisa menahan diri untuk bertanya. Salsa nggak bisa melihat Tata yang murung seperti itu. Salsa mengerti Tata kehilangan, tapi Tata masih memiliki orang-orang yang sangat menyayanginya. Seharusnya Tata bisa percaya, dan setidaknya membagi sedikit bebannya pada mereka.

Dan dugaan Salsa benar, seiring dengan Salsa yang terus memberikan pertanyaan yang sama, Tata pun juga akan memberikan jawaban yang sama. "Aku gapapa, Sa. Kamu tau gak sih, itu pertanyaan kamu yang keberapa?"

Salsa menggeleng, kemudian menggenggam tangan Salsa yang bebas dari memegang pulpen, "Lo tau, kan, Ta, lo itu berarti buat kita? Kalau lo masih sedih, lo bisa berbagi sama kita."

Tata menatap Salsa dengan tatapan tak terbaca, kemudian tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, Sa, makasih."

Salsa mengangguk.

***

Bel pulang baru saja berbunyi. Tapi ketiga temannya sudah ngibrit duluan keluar dari kelas. Bikin Athar geleng-geleng kepala melihat itu.

Athar sampirkan tas hitamnya di bahu, lalu melangkah untuk keluar kelas. Sebelum langkahnya berhenti saat tak sengaja matanya bersibobok dengan Amel. Tidak seperti biasanya, bukannya tersenyum, Amel justru malah mengalihkan pandangan. Tanpa senyum, seperti dulu.

Athar meghela napas.

Sebenarnya Athar sudah merasa, sih, kalau beberapa hari belakangan ini Amel seperti menghindarinya. Bahkan tanpa Athar tahu alasannya apa.

Karena tak mau terus-terusan merasa aneh, Athar langkahkan kakinya dan berhenti di samping Amel yang lagi ngobrol bersama Windi. Amel terkejut, tapi hanya sebentar, karena setelah itu Amel kembali mengendalikan raut wajahnya. Amel tersenyum.

Athar berdeham, "Gue mau ngomong, Mel. Berdua aja."

Windi langsung pura-pura batuk, "Uhuk! Ada yang mau ngomong serius ya kayaknya. Sono, Mel, ikut aja. Gue tunggu sini."

Amel tersenyum tipis, kemudian melangkah mengikuti Athar yang jalan di depannya.

Saat sampai di tempat yang lumayan sepi--menghindari telinga-telinga kelinci di sekitar--Athar berhenti melangkah, berbalik menatap Amel.

Amel naikkan alisnya, "Kenapa, Thar?"

Athar menyugar rambutnya, "Lo kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Lo ngindarin gue? Kenapa?"

Amel diam.

"Gue ada salah sama lo? Apa? Kasih tau gue, Mel. Bukannya diem, terus menghindar kayak gini." Athar menatap Amel dengan tatapan--yang Amel sendiri bahkan tidak bisa membacanya.

Athar tahu Amel merasa terintimidasi. Athar bisa lihat dari gerakannya yang rikuh dan gelisah. Athar menilai dalam diam.

"Lo gak salah apa pun, Thar." Amel tersenyum tipis setelahnya.

"Gak salah? Terus, lo menghindari gue tanpa alasan?"

Amel menggigit bibir bawahnya, merasa sesak untuk mengatakan ini. "Gue gak mau jadi penghalang kalian."

Athar naikkan alisnya, Kalian? Siapa?

"Lo sama Tata."

Athar mematung.

"Mel, lo tau gue sama Tata cuma sahabat."

"Gak ada kata 'cuma' di hubungan kalian. Kalian bukan 'cuma' sahabat, atau 'cuma' saling peduli satu sama lain." Amel mulai naikkan oktaf suaranya, "Kalian lebih dari itu, Thar. Lo gak sadar. Kalian gak sadar."

Athar mengerang frustasi, "Nggak gitu, Mel," ujar Athar, "Apa sebagai sahabat gue gak boleh ada di sisi Tata saat dia terpuruk?"

"Bukan itu masalahnya. Lo itu ibarat 'rumah' bagi Tata, Thar. Lo... Tempat Tata pulang."

Athar membeku. Satu kenyataan membuat dirinya tertampar tangan tak kasat mata.

"Sekarang jawab gue," Amel memegang pundak Athar, "Saat Tata mulai deket sama Fathur, apa lo baik-baik aja? Apa lo merasa 'biasa' aja, Thar?"

"..."

"Apa saat hubungan kalian jauh, apa lo nggak merasa kehilangan? Apa perasaan lo merasa biasa aja?"

"..."

Amel menggeleng, matanya mulai berkaca,  "Jawabannya enggak. Gue tau itu," Amel hapus air matanya, "Lo jatuh cinta, Thar. Bukan sama gue, atau siapa pun itu. Lo jatuh cinta sama sahabat lo sendiri."

Athar menggeleng, "Lo salah, Mel." Saat mengatakan itu, entah mengapa hatinya malah merasa tidak rela.

Amel tersenyum tipis, "Lo terdengar seperti meyakinkan diri lo sendiri buat bilang itu. Lo tau, kalau lo aja nyangkal perasaan lo terus, gimana Tata mau berharap lebih."

Amel terdiam. Dadanya terasa sesak.

"Kalau lo ngelak untuk menjaga perasaan gue, itu gak perlu, Thar. Gue ikhlas, kok. Karena di sini, tugas gue cuma sekedar lewat di hidup lo." Amel hembuskan napasnya, "Lo cuma perlu perjuangin orang yang bener-bener ada di hati lo, Thar."

Untuk pertama kalinya Athar tak mampu melakukan apa pun. Bahkan untuk mengejar langkah Amel yang telah menjauh sekali pun.

Karena Athar menyadari satu hal.

Yang dikatakan Amel adalah benar. Satu kenyataan yang membuat hatinya seperti tertusuk.

***

FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang