BAB 18

3 1 0
                                    

"Athar?"

Athar yang sedang membaca buku ensiklopedi miliknya di atas kasur, langsung terkejut saat melihat Tata diambang pintu kamarnya. Dengan cengiran, kacamata bundar menggantung di hidungnya yang nggak terlalu mancung, serta buku Matematika digenggaman--terlihat dari sampulnya yang berwarna hijau.

Athar menormalkan ekspresinya, lalu mengangkat sebelah alisnya. "Masih inget gue?"

Tata manyun, "Hmm, masih kejam seperti biasa ya." ujar Tata sambil melangkah masuk.

Tata mendaratkan bokongnya di kursi belajar, lalu meletakkan buku yang sedari awal dipegangnya. "Ajarin aku Matematika ya." Tata menatap Athar dengan matanya yang hitam bening.

Athar mengerutkan alis. "Lah, kemarin-kemarin, gak inget sama gue. Diajarin Matematika sama siapa?"

"Sama Fathur."

"Sekarang kenapa gak minta ajarin sama dia lagi?"

Tata mengerjap. "Dia lagi nggak bisa hari ini. Ada urusan katanya."

Memang kemarin-kemarin saat Tata nggak lagi minta ajarin Fisika, Matematika  lagi sama Athar, karena Fathur yang ternyata juga sedikit pintar dalam pelajaran itu--minus Kimia. Karena itu Tata lebih sering minta diajarin Fathur saja. Tapi karena hari ini Fathur sedang nggak bisa, makanya Tata minta ajari Athar--lagi.

Tapi Tata bukannya menganggap Athar sebagai ban serep, loh.

Athar menatap Tata dengan tatapan jengkel--sekaligus menahan kesal. "Jadi gue pilihan kedua?"

"Ish, enggak lah. Kamu tuh selalu yang pertama. Anggap kemarin aku khilaf, hehe."

Athar mendengus.

Athar bangkit dari kasur, lalu duduk dilantai dengan kepala menyender pada badan kasur. "Yaudah, mumpung gue lagi baik." Athar menepuk lantai kamar di hadapannya yang dilapisi karpet coklat--bermaksud menyuruh Tata duduk.

Dengan semangat Tata menurut.

Athar bertanya soal apa yang menyulitkannya, dan Tata menunjuk beberapa soal. Athar meneliti soal tersebut, lalu membolak-balikkan LKS Matematika Tata.

"Jelas-jelas disini, kan, ada rumusnya, Ta. Tinggal dimasukin angkanya."

"Itu tujuanku minta bantuanmu, Thar. Aku, kan, nggak mudeng-mudeng amat."

Athar menghela napas. "Karena soalnya kayak gini, kita pakai rumus yang ini," Athar menunjuk beberapa rumus, "Terus, angka yang paling besar, nggak perlu kita pakai. Tapi kita buktikan dengan cara kayak gini." Athar menuliskan cara dari penjelasannya.

"Karena ini segitiga, kita cari pakai cara phytagoras." jelas Athar lagi. Tata mengangguk, lalu menulis apa yang diucapkan cowok itu.

Saat sedang khusyuk mengajarkan Tata, ponsel Athar berdering. Athar melirik username, dan melihat bahwa Amel-lah yang menelfonnya. Tanpa pikir panjang, Athar berdiri dan mengangkatnya.

"Ya, Mel?"

Tata menatap Athar dengan kening berkerut. Mel? Amel maksudnya?

Diujung telpon Amel bercerita dengan suara menggebu-gebu, yang berhasil membuat Athar mengeluarkan sedikit tawanya.

Tata terbelalak. Barusan Athar tawa?

Tata ikut berdiri, "Siapa, Thar?"

Athar tidak menjawab. Hanya menekan telunjuk pada mulutnya sendiri. Menyuruh Tata untuk diam.

Tata cemberut. "Siapaaa, Thar?"

Athar tersenyum kecil mendengar cerita diujung telpon. "Terus?"

Tata manyun. "Aku udah selesai nulisnya, ayo ajarin lagi," Athar tidak menjawab. Tata menggoyangkan lengan Athar heboh. "Kalau aku mau cari Sin pakai rumus yang mana, Thar? Kalau Cos? Tan? Kartesius? Sisi segi--"

"TA!"

Tata tersentak. Matanya membelalak karena kaget. Jantungnya berdegup kencang. Bahkan kerongkongannya terasa kering.

Athar membentaknya.

Untuk pertama kalinya Tata mendengar Athar meninggikan suaranya pada Tata. Dan karena itu, entah kenapa hatinya berdenyut nyeri. Perih.

Athar menatap Tata dengan pandangan kesal, dengan tangan menutup ponsel--mungkin agar Amel tidak mendengar bentakannya. "Bisa diem sebentar, kan? Gue lagi telpon. Entar gue ajarin lagi."

Tata menunduk. Tata tidak suka dibentak. Karena hal itu membuatnya takut dan merasa terintimidasi. Karena itu baik Ayah, Bunda, atau Athar sekalipun tidak pernah membentaknya selama ini. Tapi hari ini...

"Iya maap, mulutku gak bisa diem," ujar Tata. Walaupun berusaha menyembunyikan agar suaranya tidak terdengar bergetar, tapi getaran itu masih terasa.

Athar diam.

Tata mengangkat kepalanya. "Aku janji nggak buat lagi." Tata mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang selalu Tata katakan saat Tata melakukan kesalahan atau kenakalan yang membuat Ayah atau Bunda marah. Setelah kata itu berhasil diucapkan, Tata membereskan buku, lalu bergegas pergi dari kamar Athar. Bahkan Tata lupa mengucapkan terima kasih.

Ditempatnya Athar menatap kepergian Tata dengan genggaman pada ponsel yang mengetat dan tatapan tidak terbaca.

***

Tata terkejut? Tentu saja.

Tata takut? Tidak perlu ditanyakan lagi. Hal itu terlihat jelas dimatanya.

Terlebih dari itu semua Tata merasa 'sakit'. Entah apa. Atau mungkin juga hatinya. Hatinya yang berdenyut nyeri saat melihat dan mendengar Athar untuk pertama kalinya, membentak Tata.

Apa Athar semarah itu dengan Tata? Apa se-mengganggu itu-kah Tata dimata Athar sekarang? Sampai-sampai Athar mungkin lupa kalau Tata tidak suka--benar-benar tidak suka--saat dirinya dibentak.

Napas berat lolos dari mulut Tata yang saat ini sedang termenung memandang ke luar jendela kamar.

Suara Athar masih terngiang dibenaknya.

Seharusnya Tata menangis. Menumpahkan air mata yang sejak awal membendung. Tapi entah kenapa, air matanya tidak keluar. Karena hatinya jauh lebih sakit. Setelah ini entah apa dan bagaimana Tata harus bersikap didepan Athar. Tata marah, tentu saja. Tapi Tata sadar, kalau Athar tidak akan membentaknya kalau saja Tata tidak mengganggu.

Apa karena Tata yang nggak pernah lagi bersama-sama dengan Athar yang membuat Tata nggak sadar kalau Athar memang sudah berubah?

Getaran lembut dari ponselnya membuat Tata mengalihkan tatapannya dan meraih ponsel. Tata melirik notifikasi dari dua orang yang mengirimkannya pesan secara bersamaan.

Athar : sorry

Fathurrr: Ta

Tata memilih mengabaikan pesan Athar dan membalas pesan yang dikirimkan oleh Fathur. Setidaknya Tata butuh mengalihkan pikiran keruhnya.

***

Athar jahat amat, Tata tuh gak suka dibentak tauuuu:((

Tata butuh mengalihkan pikiran agar tidak sedih lagi. Dan sekarang itu jadi tugasmu Fathur.











FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang