BAB 17

4 1 0
                                    

"Yah," Tata melongokkan kepalanya dari celah pintu ruang kerja ayahnya. Terlihat disana di kursi kerjanya, Ayah sedang duduk dengan laptop dihadapan.

Ayah mengalihkan pandang dari laptop, untuk menatap putri sulungnya. "Oh, Ta. Kenapa?"

Tata tersenyum, masuk dengan secangkir kopi dikedua tangannya, meletakkan kopi dimeja, lalu duduk. "Bunda nyuruh Tata nganter kopi."

Mata Ayah yang teduh menjadi sipit saat Ayah memberikan senyumannya untuk Tata. "Makasih ya, sayang."

Tata mengangguk. Lalu Ayah kembali fokus pada laptop.

Banyak orang yang bilang 'Cinta pertama seorang anak gadis adalah Ayahnya'. Dan Tata benar-benar setuju dengan kata-kata itu. Karena Tata sendiri merasakannya. Betapa Tata sangat jatuh cinta dengan keteduhan dan kelembutan Ayah kepada keluarga.

Ayah memang bukan seorang pengusaha sukses di ibukota. Bukan bos dari perusahaan besar. Ayah hanya seorang pegawai disebuah perusahaan marketing. Tapi Ayah membuktikan kalau Ayah bisa mencukupi kebutuhan keluarga dengan kerja kerasnya. Ayah juga seorang yang sederhana. Dengan baju yang itu-itu saja, dan tidak pernah mengikuti trend. Tapi Ayah adalah segalanya. Baik untuk Bunda maupun untuk kedua anaknya.

Ya, Ayah se-berharga itu untuk keluarga. Tanpa Ayah, keluarga mereka mungkin akan seperti sebuah kapal tanpa nahkoda.

Dan bagi Tata, Ayah adalah dunianya selain Bunda.

"Kamu nggak ada pr, Ta?" tanya Ayah tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop dimeja.

"Nggak ada, Yah." Tata mengetukkan jarinya di dagu. "Kayaknya, sih."

Kali ini Ayah mengangkat kepalanya dan menatap Tata. "Loh, kok, kayaknya?" Tata nyengir. "Pasti nggak belajar."

"Iya, Yah."

Bukannya marah, Ayah justru malah menepuk-nepuk puncak kepala Tata. Dengan senyum yang tidak luput dari wajah. "Kamu itu jangan terlalu malas, Sayang. Kamu harus tau, nggak perlu jadi anak yang jenius, untuk bikin Ayah dan Bunda bangga," ujarnya, "Tapi cukup kamu kurangin malasmu dan belajar dengan lebih rajin, ya?"

Tata mengangguk.

"Kalau gitu, Tata balik kamar ya, Yah." pamit Tata sambil berdiri dari kursi.

Ayah mengangguk.

Tata melangkah perlahan keluar dari ruang kerja Ayah, menutup pintu secara perlahan juga, lalu pergi menuju kamar.

Ditempatnya, setelah memandang kepergian Tata, Ayah meraih sebuah figura yang selalu ada dimeja kerjanya. Foto sepasang suami isteri dengan senyum menghiasi wajah mereka, beserta dua orang anak perempuan. Yang satu remaja, dan seorang bayi cantik di gendongan sang isteri.

Ayah tersenyum sendu. Lalu mengelus foto didalam bingkai coklat itu perlahan. Kemudian kembali bekerja.

Tata tidak tahu, saat Tata merasa kalau Ayah sangat berharga bagi keluarga mereka. Bagi Ayah mereka lebih daripada itu.

***

"Gue pinjem double-tip lo dong." ujar Athar sambil menyenggol bahu Bayu yang berada di sampingnya.

"..."

Athar menoleh saat tidak mendapat jawaban. Kemudian menghela napas saat melihat sahabatnya yang satu itu malah tidur. Dengan kepala telungkup dimeja, tas yang dijadikan bantal, serta jaketnya yang dialih-fungsikan menjadi selimut. Bahkan tanpa ragu, walau saat ini guru Kimia mereka yang terkenal kejam sedang menerangkan.

Sebelumnya Athar nggak pernah bertingkah jail atau usil. Tapi entah kenapa saat ini 'sesuatu' dalam dirinya ingin melakukan suatu hal pada temannya. Biar nggak mereka terus yang selalu mengerjai dan menyusahkannya.

Tapi Athar bukan balas dendam, loh. Balas dendam itu nggak baik, kata Bunda.

Athar mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Membuat penjelasan Pak Agus--guru Kimia--jadi terpotong. Dan menatap heran pada Athar.

"Ada apa toh, Athar? Saya belum menyuruh kalian untuk bertanya, loh." ujar Pak Agus sambil mengerutkan alis.

Bahkan tanpa sadar seluruh perhatian teman sekelasnya, jadi tertuju pada Athar. Tak terkecuali Amel dan kedua temannya yang awalnya sedang asyik membaca komik yang dibawa oleh Tian.

Athar berdeham kecil, lalu tersenyum. "Ini, Pak. Bayu tidur dikelas."

Pak Agus kaget. Teman-temannya terkejut. Tian dan Wendy kejang-kejang.

Pak Agus menghampiri Bayu, lalu dengan sengaja memainkan telinga cowok berkulit sawo matang itu.

Bayu yang merasa tidurnya terganggu, membuka suara. "Thar, jangan ganggu. Gue ngantuk banget ini." gumam Bayu dengan suara parau.

Nggak sadar kalau bahaya sedang mengancamnya.

Beberapa detik setelah itu, gumaman Bayu berubah menjadi ringisan saat Pak Agus menjewer telinganya. Membuat Bayu menegakkan tubuhnya, dan bersiap ngomel karena mengira Athar-lah yang menganggu tidur siangnya.

"Thar, lo bener-bener---" Pak Agus melotot. "Eh, Bapak." Bayu nyengir.

Sontak gelak tawa teman sekelas mereka berderai menyaksikan hal itu.

"Apa, bapak-bapak?"

Bayu cengengesan. "Nggak, Pak."

"Kamu berani sekali ya, tidur di jam pelajaran saya?"

"Maap, Pak. Habis saya ngantuk banget, Pak. Saya pikir daripada belajarnya nggak konsen, mending istirahat sebentar, kan, Pak?"

Pak Agus manggut-manggut. "Oooh, jadi kamu tidur untuk istirahat, agar konsen lagi?" Bayu mengangguk. "Oke. Karena sekarang kamu sudah tidur, otomatis kamu sudah bisa konsentrasi lagi, kan?"

Bayu mengangguk kaku.

Pak Agus tersenyum penuh konspirasi. "Nah, kamu bisa dong, bantu saya menjawab soal dipapan tulis?"

Bayu meneguk ludah. Lalu matanya melirik pada Athar--meminta bantuan. Tapi Athar cuma mengedikkan bahunya.

Bayu meringis. "Aduh, Pak. Saya, kan, daritadi tidur, Pak."

Pak Agus melotot. "Siapa yang suruh memangnya? Pokoknya sebagai hukuman, saya punya tugas tambahan buatmu." ujar Pak Agus sambil melangkah pergi. Mulai menjelaskan lagi.

Bayu menggosok hidungnya, lalu menengok kebelakang. "Lo berdua ya? Ngaku!"

Wendy melotot. "Bukan, bego. Noh, si Athar."

Bayu menatap Athar dengan kesal. Tapi Athar malah terkekeh kecil melihat muka bantal cowok itu. Membuat Bayu menghela napasnya.

"Sialan ya, lo, Thar. Padahal kelas itu adalah hotel bintang lima yang bisa didapatkan secara gratis. Lo malah menghancurkan suasana."

***
(A/n)

Ini part paling panjang.

Selamat membaca!! ;)

FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang