Chapter 13

3.1K 403 82
                                    

Sunyi, itulah hal yang kurasakan ketika membuka mata. Hanya bara api yang mengeluarkan suara-suara kayu yang terbakar dan meninggalkan abu hangat di sekitarnya. Aku terduduk dengan susah payah sambil memegangi pinggangku kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar dengan bingung. Kemana mereka semua?

Aku terdiam sejenak setelah menyadari luka di kulitku sudah mulai mengering namun di olesi obat baru dan juga—kain di tubuhku sudah di ganti dengan yang baru. Pikiranku langsung tertuju pada Velian dan sejenak aku teringat kejadian semalam.

"Sepertinya semalam aku mimpi aneh yang menggelikan," pikirku. "Mana mungkin Velian menciumku." Aku menggelengkan kepala cepat, berharap pikiran terkutuk itu menyingkir. "Itu pasti cuma mimpi."

Aku mencium kain yang kukenakan dan sepertinya—kain ini miliknya. Aroma mint yang berbaur dengan udara lembab yang berarti—kain ini lama tidak dipakai.

Aku tak sengaja melihat sepotong paha kelinci di atas batu tak jauh dariku. Aku berjalan perlahan mendekatinya, tapi aku juga baru sadar tanganku belum bisa di gunakan untuk bergerak. Aku menghela nafas kemudian kembali duduk di tempat tidurku pelan-pelan.

"Kau sudah bangun rupanya."

Sosok berambut pirang sudah muncul dari luar, disusul pria berambut hitam pendek dengan balutan perban dimana-mana.

"Kalian baik-baik saja?" tanyaku masih dengan rasa bersalah. "Maaf sudah membuat kalian terluka seperti itu."

"Kau tidak bersalah. Kau justru yang banyak terluka," sahut Aleea.

"Seharusnya dari awal kami tidak mengizinkan dia tinggal disini." Zealda meraih sepotong daging kelinci yang tadi ingin kugapai kemudian duduk disampingku. "Makanlah!" lanjutnya sambil menyodorkan secuil daging di bibirku.

Aku membuka mulut dan mengunyahnya. Pagi ini aku belum melihat Velian, mungkin—ia sedang mengantar Sarah pulang.

"Kudengar kalian semalam pergi untuk mencari informasi. Aku tidak percaya kalian akan tetap melakukannya dengan tubuh seperti itu."

Zealda menyeringai sambil menyuapiku. "Kau pikir kami selemah itu? Lagi pula—kami menemukan sesuatu yang menarik." Ia menyeringai. " Ini mengenai keluargamu."

"Itu benar." Aleea mengeluarkan buku kecil yang tipis kemudian membunya. "Akhirnya aku tahu alasan kenapa ayahmu memperlakukanmu seperti itu. Dia—ingin melindungimu. Kau tidak diperbolehkan menggunakan nama ayahmu karena—untuk menyembunyikanmu dari yang mulia raja." Aleea mengeluarkan pena dan mulai mencoret-coret kertas. "Aku mendapat informasi dan beberapa data kerajaan mengenai kependudukan. Dan didalam catatan, ternyata tuan Kanz memiliki empat orang putra, dan mereka semua—terbunuh secara misterius."

"Jadi—maksudmu aku punya empat kakak laki-laki?"

"Ya," Aleea mengangguk. "Setelah megetahui bahwa anak berikutnya perempuan, tuan Kanz bersusah payah mencari cara untuk melindungimu. Kurasa—alasan kenapa kau selalu diminta untuk bermain pedang dan bertarung adalah—agar bisa menjaga dirimu sendiri."

"Apa—kau tahu penyebab kenapa kakak-kakakku dibunuh? Apa memang benar itu ada kaitannya dengan ritual itu?"

Hening sejenak namun tatapan mereka menatapku lekat dan mendadak suasana menjadi canggung.

"Valen, aku harap kau mau menjawabnya dengan jujur." Zealda menatapku serius sementara Aleea sudah menyodoriku selembar kertas yang berisi beberapa simbol. "Apa—kau memiliki salah satu tanda lahir ini?"

Aku menatap mereka sama seriusnya kemudian aku menatap simbol-simbol disana. Tepatnya—ada sembilan simbol yang tergambar dan semua simbol itu masing-masing membentuk angka dengan ukiran yang beragam. Mataku tertuju pada simbol yang membentuk nomor empat. Ukirannya sama persis dengan secarik kertas yang terselip dibuku ayah.

AssassinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang