Chapter 18

2.7K 366 192
                                    

Aku melepas sepatuku dengan kasar dan segera mengganti pakaianku dengan dress mini yang ada, kemudian membanting diri ke tempat tidur. Luka bekas tusukan dan cambukan masih terasa nyeri hingga aku harus mengernyitkan kening, tapi aku bersyukur istana memiliki obat yang mujarab untuk menyembuhkan luka. Meskipun masih terasa pedih tapi tidak seburuk kemarin.

Kini pikiranku melayang seakan tak mau menghadapi hari esok. Rasa kalut mulai meronta dan berteriak semoga hari ini tidak cepat berlalu.

"Adu pedang sampai mati," gumamku.

Aku tidak masalah dengan adu pedangnya, tapi pernikahannya! Aku tidak tahu apakah aku harus memenangkan pertandingan itu atau tidak. Jika saja tidak ada peraturan adu pedang sampai mati, mungkin aku akan memilih mengalah saja. Sial! Kenapa aku harus terlibat dengan urusan mereka?

Aku merubah posisiku menjadi tengkurap sambil menyangga daguku dengan bantal. Aku tiidak tahu apa yang harus kulakukan besok, pilihanku saat ini hanyalah mengalah atau dikalahkan? Jika aku kalah, aku akan mati. Jika aku mati, ini sangat membahayakan nyawa Velian. Tanda Shirea ini membuatku tak bisa seenaknya dengan nyawaku dan juga—merupakan beban berat karena ada nyawa seseorang yang bergantung pada keberadaanku.

Tapi jika aku menang, maka tidak bisa dipungkiri aku harus menghadapi pernikahan terkutuk itu dengan Erick. Lalu aku harus bagaimana? Apakah aku benar-benar tidak bisa lepas dari putra mahkota sialan itu?

Aku langsung melonjak dan terduduk ketika pintu dibuka dengan keras. Kulihat sosok Erick sudah berdiri ditengah ruangan berjalan menghampiriku. Ia mengangkat tangannya agar seluruh pelayannya keluar. Aku menatap kepergian orang-orang itu hingga pintu kembali tertutup dan kini—hanya kami berdua dalam ruangan ini.

"Jika pada akhirnya kau meminta pelayanmu untuk pergi, akan lebih baik jika kau datang kemari seorang diri," gumamku masih sebal.

"Mereka pelayan yang setia, dan mereka takan meninggalkan tuannya seorang diri," jawabnya.

"Tapi kau bisa meminta mereka untuk tidak menemanimu sesekali bukan? Kau memiliki wewenang untuk itu."

Aku melonjak kaget ketika ia melempar sebilah pedang kecil yang hampir mengenaiku. Aku menatap pedang kecil yang kini sudah menancap di kayu yang tepat di belakangku. Itu—salah satu Sword Twin milikku yang kugunakan bertarung terakhir kali.

"Aku kemari tidak untuk membahas itu." Ia terduduk di kursi tak jauh dari tempat tidurku. "Pedang itu—milikmu bukan?" lanjutnya menyeringai kemudian ia mengeluarkan beberapa senjata yang ku kenal. "Sword Twin." Ia mengeluarkan pedang kecil yang sama kemudian meletakkannya di meja dengan kasar. "Wolverine dan juga—pedang Rapier?" Ia meletakkan senjata-senjata itu di meja kecuali pedang Rapier  kesayanganku yang berikan ayah.

Ia beranjak dari tempat duduknya dan menimang-nimang pedangku. "Awalnya aku tidak menyangka kau memang seorang Assassin. Sebagai tuan putri, kuakui senjatamu di buat dengan sangat indah dan sesuai karaktermu." Pedangku berkilat-kilat dimatanya ketika ia mengamatinya lebih detail. "Indah, tajam dan sangat berbahaya, tapi itu semua dibungkus dengan nuansa yang anggun."

Aku masih terdiam ketika ia mendekatiku. "Darimana kau mendapatkan semua senjata ini?" tanyanya.

"Itu pemberian seseorang," jawabku jujur dan hati-hati.

"Siapa yang mengajarimu bertarung?"

Aku menelan ludah sejenak. "Tentu saja ayahku."

"Ayahmu atau ayah angkatmu?" Ia menyeringai.

Aku tahu maksud dari pembicarannya, seringainya membuat hatiku tersenyum menang karena ia memang mempercayaiku bahwa aku tuan putri yang sesungguhnya.

AssassinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang