Chapter 25

2.7K 380 179
                                    

Aku masih menjalankan hukumanku sambil sesekali meregangkan tubuh. Terkadang aku menatap keluar jendela untuk menghirup udara segar yang bercampur aroma mawar. Bentuk merekah mereka membuat tanganku gatal ingin memetiknya satu, lalu menciumnya. Pikiranku melayang pada sosok yang kini sedang menempuh perjalanan untuk menjalankan tugasnya dan dalam hati aku hanya berkata, "Semoga berhasil."

Bangunan menara di belakangku, aku tahu Erick mungkin mengawasiku di sana. Aku tak ingin menoleh ke menara itu, karena pasti ia akan menanyakannya. Aku kembali duduk dan melanjutkan tulisanku. Tak terasa hari mulai malam dan Velian belum juga kembali. Aku menutup bukuku setelah jemariku terasa pegal.

Aku menuruni tangga dan ruangan di bawah sana terasa sepi, namun aku bisa mencium aroma masakan yang harum dan aku segera menuju ke dapur. Di sana sudah ada Zealda yang sibuk dengan sayur mayurnya sementara di luar sana Aleea masih sibuk menyirami tanaman yang sepertinya hampir selesai.

"Valen, apa kau sudah lapar sampai-sampai kau datang kemari?" tanya Zealda setelah menyadari keberadaanku.

"Ada bau enak yang datang dari sini," jawabku. "Jadi aku mengikutinya."

"Tunggu beberapa saat lagi, makan malam akan segera siap."

Aku menatap Zealda yang tampak memotong-motong daun hingga kecil-kecil. "Ada yang bisa kubantu?"

Zealda menatapku kemudian meletakkan sekeranjang aneka buah di atas meja. "Kau baru saja selesai menulis. Aku tidak tega jika beban tanganmu semakin berat." Ia menatap tanganku sejenakk. "Itu—pasti sakkit sekali."

"Yah mungkin sedikit ada trauma otot karena harus menulis seharian."

"Putra mahkota benar-benar tidak mau melepasmu. Dia berada di menara pengintai setiiap saat hanya untuk mengawasimu."

Aku mendesah pelan sambil menarik keranjang buah yang tadi diletakkkan di meja. "Yah, itulah yang membuatku sulit untuk bergerak kemanapun. Maaf aku—tidak bisa membantu banyak," sesalkku.

Zealda menjitak kepalaku ketika wajahku mungkin terkesan murung baginya. "Jangan pasang wajah begitu, sangat tidak cocok dengan pakaianmu." Ia mulai mencicipi supnya. "Kau—sudah membantu kami sejauh ini Valen. Jika bukan karenamu, mungkin kami belum sampai ke tahap ini. Kau sudah melakukan apa yang kau bisa."

"Terimakasih sudah menghiburku." Aku tersenyum mendengar penuturannya. "Menurutmu—apa Velian akan kembali malam ini?"

Zealda menghela sejenak sambil menerawang. "Velian itu pemuda tangguh. Dia bisa menyelesaikan kesulitannya sendiri, jadi kau jangan terlalu khawatir. Dia pasti kembali."

Aku terdiam menatap Zealda yang masih sibuk dengan aktifitasnya. Meskipun ia mengatakan hal yang membuatku tenang, tapi aku tahu bahwa ia juga sedang gelisah.

"Dimana Lavina?" tanyaku saat menyadari dia tak ada.

"Sepertinya ada di ruangannya. Mungkin saat ini ia sedang mengawasi Velian," jawabnya sambil mencicipi supnya lagi.

"Baiklah, berhubung kau melarangku untuk membantumu, aku akan menemui Lavina. Dan—" Aku berhenti sejenak untuk mengejeknya, "Hati-hati, jangan sampai kumis tebalmu lepas."

"Itu tidak lucu," sahutnya dingin karena kurasa—Zealda juga merasa sebal dengan kumisnya sementara aku hanya terkekeh.

Aku memasuki ruangan lain setelah kuketuk pintu berkali-kali dan mendapat sahutan. Seorang gadis duduk dengan mengenakan topeng burung hantu sambil menatap buku tebalnya. Buluku meremang ketika telingaku sayup-sayup mendengar mantra yang sedang dirapalnya. Aku duduk di tepi ranjang tanpa berani mengusiknya sedikitpun dan tak sengaja melihat bola matanya berubah menghitam dengan tubuh menegang, entah apa yang dia lakukan tapi aku bisa melihat bahwa ia memang sedang mengawasi Velian.

AssassinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang