Aku membuka mata perlahan dengan tubuh yang terasa lemah. Kepalaku masih terasa nyaman untuk tetap tergeletak di pembaringan hingga rasanya aku masih enggan untuk terbangun. Velian sudah tak di sampingku entah sejak kapan, dan kini masih ada satu sosok lagi yang masih mendekapku. Seonggok tubuh dingin yang masih utuh dengan cahaya orange yang berpendar di lapisan kulitnya.
Aku memiringkan tubuh agar kami berhadapan. Tanganku bergerak menggapai wajahnya yang terlihat tenang. Air mataku menetes ketika pikiranku mulai mengenang tentangnya yang menyebalkan, berbahaya dan juga perasaannya yang membuatku terjerat di sisinya.
Pikiranku menembus dimensi waktu dalam sekejap. Di pertemuan pertama, kami berdansa meskipun waktu itu gerakanku begitu kaku. Pikiranku kembali melayang pada saat ia menangkapku dengan seringai puas karena mengetahui kedokku, lalu pertarunganku dengan putri Chelia dan pernikahanku yang diluar prediksiku. Aku juga mengenang ketika ia terluka setelah perburuan di hutan Stigrear, ketika ia mengancamku dan menyita semua senjataku, menghukumku karena menganiaya para selir dan mengawasiku diluar dugaanku. Aku tidak tahu sejak kapan ia mulai mencintaiku, semua sikapnya sama-sama menyebalkan dan membuatku selalu waspada, selama ini aku menganggapnya sedang mempermainkanku atau semacamnya.
Aku tidak menyangka wajahnya yang selalu terlihat jahat ternyata begitu menawan saat terlelap, begitu lembut dan tenang. Tubuhku merangsek masuk kedalam pelukannya dan menyandarkan kepalaku di dada bidang yang membungkus jantungnya, begitu sunyi dan dingin. Aroma tubuhnya yang masih tertahan di sana, mengingatkanku pada pelukan hangatnya saat aku benar-benar terpuruk di medan perang. Begitu menenagkan dan tak ingin kulepas pada saat itu.
"Maafkan aku," bisikku sendu sambil memeluknya.
"Valen." Velian memanggil ketika datang.
Aku tetap bergeming untuk menutupi tangisku namun aku tahu Velian menungguku berpaling untuk menatapnya. Kuusap air mataku setelah perasaanku mulai membaik lalu beranjak dari dekapannya dan duduk mematung.
"Setelah ini apa?"
"Putra mahkota harus segera dimakamkan," sahutnya.
"Kalau begitu aku ikut."
"Tidak," sergahnya cepat. "Berita kematianmu sudah menyebar, jika masayarakat melihatmu ada di sana, mungkin mereka akan lari karena menganggapmu hantu."
"Tapi..."
"Valen menurutlah, ini untuk kebaikanmu sendiri."
Aku bungkam seketika atas penekanannya, meskipun terasa berat hati tapi yang dikatakannya memang benar. Mereka pasti akan menjerit dan menganggapku hantu...atau semacamnya.
"Baiklah," sahutu menurut.
Tubuh Erick dipindahkan dengan sangat hati-hati setelah dibersiihkan. Kini ia terbaring di sebuah peti kaca dengan berbagai bunga di sekelilingnya. Saat ini ia berada di ruangan yang tampak sunyi dan bersih dengan nuansa putih yang begitu suci.
Aku mengamati sosok wanita yang membungkuk dan menatap tubuh terbaring itu secara sembunyi-sembunyi. Dia...yang mulia ratu. Aku bisa melihat jelas kesedihannya, bagaimana tidak? Ia kehilangan raja Herrian dan sekarang kehilangan putranya. Tak sengaja aku mendengar ia menanyakan dimana tubuhku, namun Velian sudah mengatur semuanya dengan memberitahukan bahwa tubuhku telah di kebumikan di makam keluarga kerajaan dan tentu saja jawaban itu tidak bisa ia terima begitu saja.
"Valen sudah seperti putriku! Dimana tubuhnya? Aku ingin keduanya tetap bersama di pembaringan."
"Yang mulia tenanglah."
Lalu kulihat sosok wanita yang hampir menginjak usia senja yang juga tampak sama bersedihnya dengan wanita di sebelahnya. Bibi Athea, aku sedikit merindukannya. Dalam hati, sebenarnya aku merasa senang karena mereka baik-baik saja tanpa terluka sedikitpun, meskipun hatiku juga merasa teriris atas kesedihan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assassin
FantasyValen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria pelindung hancur dalam waktu semalam ketika keluarganya terbunuh oleh orang tak di kenal malam itu. Pertemuannya dengan Velian Grey, pria berhati dingin y...