Aku masih terkejut dengan perubahan kulitku yang sudah sembuh total, bahkan pergelangan tanganku sudah pulih tanpa menyisakan rasa sakit. Aku harus segera menyelidiki gadis itu secepatnya, dikhawatirkan ini akan membahayakan Velian dan yang lainnya.
"Valen."
Aku langsung mencelupkan diri hingga seleher untuk menutupi tubuhku meskipun terasa dingin. "Zealda?"
Zealda terhenti sejenak ketika melihatku. "Aku akan mengambilkan kain untukmu."
"Jangan!" sergahku. "Tolong ambilkan aku pakaianku."
"Pakaian?" Zealda terlihat heran namun sedetik kemudian mengangguk kaku. "Baiklah tunggu sebantar."
Tak lama Zealda kembali dengan membawa satu setel pakaianku kemudian kembali ke goa setelah aku memintanya mendahuluiku. Aku segera mengenakan pakaianku dan kembali ke goa dengan tergesa-gesa, membayangkan gadis itu masih di sana.
Dan—benar saja, gadis itu terduduk di depan perapian sambil menekuk lutut menahan dingin. Aku langsung meraih pedang kecilku kemudian melompat dan menjepit lehernya dari belakang dengan lenganku. Ujung pedangku sudah menempel dilehernya sementara ia mengerang kesakitan karena aku membekapnya lehernya dengan keras.
"Katakan padaku siapa kau sebenarnya? Siapa yang mengirimmu kemari, penyihir!"
"Valen tenanglah!" Suara Zealda menggema namun aku tak perduli.
Aku tak perduli dengan tiga pasang mata yang menatapku nanar dan heran, tapi aku harus membongkar siapa gadis ini sebenanrnya.
"A-aku tidak tahu apa maksudmu. Aku bu-kan pe-penyihir," jawabnya terbata sambil terbatuk-batuk.
"Kau pikir aku percaya padamu?!" geramku kemudian membanting tubuhnya ke tanah.
Gadis itu tersungkur sementara aku sudah berdiri angkuh dihadapannya sambil menghunuskan pedangku di depan wajahnya. Ia terlihat kesakitan di bagian kepala namun beberapa detik kemudian, ia menyeringai dan menatapku liar.
Tanpa aba-aba ia langsung melompat kearahku dan merebut pedang di tanganku lalu melemparkannya. Ia membenturkan punggungku ke dinding goa yang dingin dengan keras.
"Valen!"
Gadis itu mengibaskan tangannya dan mereka bertiga terpental bersamaan ketika hendak menolongku dan dalam sekejap tubuh mereka juga terjerat sihirnya. Ia mencengkeram leherku dengan aura sihir yang menguar dari tangannya dan mengunci pergerakanku.
"Bukankah aku sudah mengatakannya padamu? Aku menunggu ucapan terimakasihmu," ujarnya dengan nada dingin. "Beginikah kau membalas kebaikanku yang telah menyembuhkan rasa sakitmu?"
Melihat hal ini, akupun tersadar bahwa sekuat apapun seorang Warior, selincah apapun seorang Assassin akan tetap kalah dengan penyihir. Dia bukan hanya bisa merubah fisik, tapi bahkan bisa memanipulasi pikiran.
Aku terbatuk-batuk akibat cengkeramannya. "A-apa sebenarnya tu-tujuanmu ke-mari?" Kini aku yang terbata saat mengatakannya.
"Sebelum aku menjawabnya aku ingin bertanya satu hal padamu." Ia mendekatkan bibirnya di telingaku sambil berbisik, "Apa hubunganmu dengan pria berambut panjang itu? Kau menyukainya?"
"Itu bukan urusanmu," desisku.
"Aku tidak mengerti kenapa hanya pria itu yang ada di pikiranmu di tengah rasa sakitmu?"
"Sudah kubilang itu bukan urusanmu!"
Tentu saja aku memikirkannya. Hidup Velian adalah tanggung jawabku, jika aku mati maka Velian akan mudah untuk di bunuh dan aku tidak akan membiarkan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assassin
FantasyValen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria pelindung hancur dalam waktu semalam ketika keluarganya terbunuh oleh orang tak di kenal malam itu. Pertemuannya dengan Velian Grey, pria berhati dingin y...