The Way 2

99 8 0
                                    

Tidak ada orang yang pernah ingin tinggal di tempat ini, kecuali mereka gila. Mereka, orang-orang yang duduk di kursi plastik itu, gila dan di buang keluarganya. Seharusnya aku menertawakan mereka, mereka tidak berpikir normal dan melakukan hal-hal aneh. Seharusnya, namun satu hal yang kusadari, ternyata aku juga bagian dari mereka.

Aku seharusnya menertawakan diriku sendiri karena suara-suara dalam kepalaku pun menertawakanku. Aku tidak berhak atas diriku lagi, mereka menguasaiku dan akan selamanya begitu. Terkadang aku lelah menjalani hari-hariku di tempat aneh ini, namun aku sendiri tidak tahu harus melakukan apa ketika aku bahkan tidak berani menggerakkan tubuhku. Akan ada hal menakutkan jika aku mengambil tubuh ini dari mereka. Suara-suara itu.

“Mae,” pria di hadapanku mengalihkan pemikiranku. Dia menghela napas dan menurunkan kacamatanya, menaruhnya di kotak dan beralih menatapku dengan mata coklatnya.

“Hari ini kita selesai sampai di sini ya, akan kupanggil suster untuk membantumu kembali ke kamar.”

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Dokter yang mengenalkan dirinya dengan nama Liam Flanerry itu masih muda, sekitar awal tiga puluhan dan menyandang gelar psikiater. Aku tidak tahu bagaimana awalnya aku bisa menghabiskan hari-hariku untuk bertemu dengannya. Ditanyai hal-hal aneh dan anehnya aku hanya menurut. Aku benar-benar kehilangan kendali atas diriku. Aku mengatakan apa yang seharusnya tidak aku katakan.

Beberapa hitungan setelah dokter itu berbicara di telpon, seorang wanita berpakaian putih membuka pintu lebih lebar. Dia tersenyum, melangkahkan kakinya masuk dan berdiri tepat di samping kursiku. Map yang semula di genggam di kedua tangannya berpindah ke tangan kiri, lalu  sebelah tangannya terulur ke arahku.

“Ayo.” Ajaknya.

Perlahan aku bangkit dari kursi, membiarkan tangan suster dengan nametag Diana itu mengantung di udara. Aku bisa sendiri. Aku tidak ingin semakin banyak hal membuatku benar-benar kehilangan diriku. Aku bisa sendiri tanpa bantuannya.

Keluar dari ruang dokter Liam, aku dan suster yang berjalan di sisi kiri belakangku berjalan melewati lorong rumah sakit yang menghubungkan ruangan-ruangan bertuliskan nama dokter dengan kamarku. Kamar rumah sakit ini. Ada banyak orang yang kulihat sepanjang perjalanan, dan semuanya gila. Ini rumah sakit jiwa! Aku masih tidak percaya aku tinggal di dalamnya, menjadi bagian dari orang-orang itu.

“Kau mau jalan-jalan dulu apa di kamar saja?” suster itu kembali berbicara setelah kami sampai di kusen pintu kamar yang kutempati. Dia merogoh kantong bajunya dan mengeluarkan sebundel kunci, menimbang benda itu sembari menunggu jawabanku.

“Di kamar saja.” Jawabku.

Suster itu lalu memutar kuncinya pada lubang, membuka pintu. ruangan dan aku langsung masuk begitu pintu terbuka. Aku sangat lelah dan ingin istirahat. Sesi tanya jawab dengan dokter Liam selama satu jam setengah benar-benar membuatku pusing dan ingin muntah.

“Kau harus istirahat, satu jam lagi aku akan kembali. Kalau kau butuh apa-apa bisa menghubungiku lewat panggilan. Oke?”  suster itu berbicara dengan sangat lembut. Dia tetap berdiri di ambang pintu sementara aku sudah berada di dalam kamar.

The WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang