The Way 13

66 3 0
                                    

Aku ingin tertawa, menertawakan diriku sendiri.

Kupandangi kertas berwarna kuning di tanganku, menimbang-nimbang apakah aku harus datang. Diana memberikan undangan padaku setelah selesai dari sesi terapi dengan dokter Liam pagi ini, undangan Justin. Keluarga Justin akan mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan kepulangan Justin dari rumah sakit ini, kami semua yang berada di kelompok bermain diundang. Mungkin aku akan berangkat dengan mengajak Diana.

Kuarahkan tanganku untuk menggapai tombol di dinding dan menekan tiga angka di sana. Sembilan satu sembilan, kombinasi angka yang digunakan untuk menghubungkan ruanganku dengan ruangan Diana, aku melakukan panggilan dengannya.

Suara ‘tut’ terdengar sekali kemudian suara seseorang terdengar menyusul. “Ada apa Mae?”

“Kau bisa ke kamarku sekarang?” langsung kuutarakan maksudku.

“Lima menit.” Setelah itu bunyi ‘tut’ terdengar lagi.

Pintu terbuka dan aku yakin dia adalah Diana yang baru lima menit kupanggil melalui panggilan pendek. Itu benar Diana yang sekarang memakai baju biasa yang sama sepertiku, tidak seragam putih seperti tadi pagi atau biasanya. Aku memandangnya penasaran.

“Mengapa kau memanggilku Mae? Kau mau keluar?”

“Bajumu berubah.” Kuabaikan pertanyaannya dan mengajukan pernyataan sekaligus pertanyaan untuknya.

 “Oh, ini,” Diana menunduk untuk memandangi bajunya sejenak. “Ini adalah kebijakan rumah sakit yang baru berlaku hari ini. Bagaimana, kau suka kan kalau baju kita kembaran?” Dia menyulas senyum hangat nan manisnya sembari merentangkan kedua tangannya, membuatku bisa melihat tulisan di sisi kanannya. ‘Getting up in the morning is a sign that you can achieve the goal’s life better than yesterday.’ Kurasa itu adalah sambungan kata yang ada di bajuku yang warnanya sama dengan Diana, merah muda menggairahkan. ‘Let’s get up, and wellcome to the new day, new hope, new things.’ Entah mengapa akhir-akhir ini Diana sering memakaikanku baju dengan kata-kata penyemangat seperti ini.

“Kau melamun kan apa?” Diana menyentakku dengan suara dan lambaian tangannya di wajahku. “Apa yang membuatmu memanggilku Mae?” dia bertanya lagi setelah aku sepenuhnya sadar dari lamunan.

“Ehm” kugaruk tengkukku yang tidak gatal ketika aku ragu untuk mengucapkannya. Maka kutarik napas panjang untuk meyakinkan kalau aku harus mengatakan ini. Ya, harus! “Aku ingin ke rumah Justin sekarang.”

Benar kan, Diana langsung menunjukkan wajah kaget. “Bukannya pestanya masih nanti malam?”

“Aku inginnya sekarang, aku juga tidak ada kerjaan setelah ini.” Aku mengutuk mulutku yang sembarangan dan tak bisa kukendalikan untuk mengatakan apa.

“Oih, kau mau kencan dulu ya dengannya?” Diana melayangkan tatapan menggoda dan tangannya turut usil mencolek daguku. Aku tak bisa menghindar dan hanya bisa tersipu malu-malu dengan pipi yang memanas, apa-apaan. Tapi aku tidak kencan, memangnya aku dan Justin berpacaran? Pertanyaan konyol.

The WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang