Aku hanya ingin bebas.
Detik-detik penghitung jam menemani kesunyianku malam ini. Jendela yang terbuka memperlihatkan ribuan bintang yang bersinar terang, menerangi diriku bersama lilin terapi. Aku bodoh, bodoh karena sempat berpikir untuk kabur melalui jendela, namun urung ketika kembali teringat kebodohanku yang lain. Bersama Diana dan dokter Liam saja aku masih tidak bisa mengendalikan diriku sendiri, bagaimana jika sendiri?
Maegan West yang bodoh.
Kuperhatikan lilin yang apinya bergoyang-goyang tertiup angin, menjilat-jilati dirinya sendiri hingga meleleh. Pengorbanan yang manis, rela tersakiti demi orang lain. Sejenak aku tersenyum, menebak-nebak apakah ada orang yang rela berkorban untukku. Ah, kebodohan yang lain, semua yang manis-manis hanya ada di pikiranku .Menjebakku, membawaku pada harapan-harapan semu.
Lama kuperhatikan nyala api itu hingga baru kusadari api itu selalu condong ke arahku. Dia menyambar-nyambar bagaikan swing penari sirkus, memanggil-manggilku untuk bergabung bersamanya. Ingin kutolak namun tidak bisa, tanganku terlanjur terulur mendekat. Baiklah, sedekat ini dan belum terasa panas. Kudekatkan tanganku sekali lagi ke arah api, namun panasnya masih belum terasa. Oke, apinya menantangku.
Tersenyum miring bak seorang maniak, ternyata inilah yang membuatku senang. Kuputar-putar telapak tanganku di atas api, ingin bermain-main sejenak sebelum akhirnya aku memadamkannya. Sounds like Algojo? Who cares. Kunaik turunkan tanganku membuat api itu membesar lalu mengecil, dia seperti bola lampu disko yang kelap-kelip. Haruskah aku menari? Seperti iya. Namun tidak ada pasangan dan sebotol bir membuatku urung.
Terus kumain-mainkan tanganku, naik turun, mengelilingi, berputar-putar di atasnya, dan segalanya terasa semakin menantang ketika api itu tak kunjung berkembang. Payah. Kulakukan lagi kegilaanku sampai akhirnya kusadari tanganku terasa panas. Aku seakan melompat dari satu kurun waktu ke waktu lainnya. Termenung untuk memahami apa yang baru saja kulakukan, siapa yang membawaku mendekat pada lilin?
Terkurung dalam kebingunganku sendiri, aku melihat dengan jelas kalau api di lilin itu menyambar tanganku yang berada di atasnya, mengenai lengan baju panjangku. Serangan panik datang tiba-tiba dan membuatku kesulitan menghirup oksigen, membuat paru-paruku dipenuhi racun dan darahku berhenti mengalir. Lengan bajuku terbakar.
Tidak! tidak! tidak! Aku tidak ingin mati terbakar. Sejurus aku tersentak dari lantai, kukibas-kibaskan lenganku berharap api itu mati, namun aku justru menyenggol lilin dan membuatnya jatuh. Api lilin itu berkobar di lantai, membakar dirinya secara keseluruhan. Kekalutan semakin merajai, aku tidak tahu mana yang harus kupadamkan terlebih dulu. Sekelebat benda di atas meja tertangkap mataku, air. Langsung saja aku berlari ke arah meja dan secepat kilat meraih teko, menyiramkannya begitu saja ke lengan bajuku hingga celanaku ikut basah. Api berhasil padam. Aku ingin menjatuhkan diriku, rasanya lemas setelah usaha menyelamatkan diri dari kobaran api yang hampir membunuhku. Namun keresahan kembali mendera ketika teringat api yang membakar lantai.
Asap mengepul dari batang lilin, apinya telah mati terkena tumpahan air. Seharusnya tidak seperti ini. Sekarang kamarku dipenuhi asap yang membumbung tinggi, membuatku sesak dan tak ada oksigen yang kuhirup. Bagaimana ini, apa yang harus kulakukan?
♥♥♥
Keramaian koridor rumah sakit tak berarti apa-apa untukku. Orang yang berlalu lalang hanya berupa kelebatan semata, hingga kurasakan sebuah tangan menyentuh pundakku halus.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way
Teen FictionMaegan West merasa dirinya berbeda dari gadis remaja seusianya. Ketika teman-temannya menghabiskan setengah waktunya di sekolah dengan canda tawa, Mae justru harus rela tinggal di rumah sakit jiwa dan menjalani terapi. Gadis ini tidak pernah ingat h...