The Way 14

71 5 0
                                    

Orang-orang sepertiku memandang dunia dengan cara yang berbeda.

Lantai yang dingin menyambut langkahku ketika turun dari ranjang, meniti keramik satu per satu sampai depan lemari. Ini hariku yang entah keberapa tinggal di rumah sakit ini. Aku benci harus mengakui kalau DID sialan itu belum juga enyah, mereka mengikutiku dan tidak ingin melepasku begitu saja. Aku akan tinggal di sini selamanya.

Pantulan dalam cermin itu tidak lagi kukenali, aku bahkan lupa siapa dan bagaimana diriku. Jatuh terlalu dalam dalam lubang kenestapaan membuatku tak menemukan celah untuk bangkit, aku terkungkung selamanya bersama perasaan-perasaan yang menyakitkan.

Pintu terkuak begitu aku selesai merapikan rambut −sekedar menyisir dan mengucirnya dalam satu ikatan simpul, Diana muncul setelahnya.  Aku melihatnya melalui pantulan cermin yang berbayang oleh setan-setan yang menghuni tubuhku.

“Hai Mae, bagaimana pagimu hari ini?”

“Not good enough.” Jawabku jujur, aku berbalik dari cermin untuk memandang Diana langsung, menatap tepat pada matanya yang memancarkan ketenangan. “Beritahu aku alasan mengapa aku harus tetap hidup?” Diana terpaku dengan mimik wajah keheranan. “Jawaban yang salah akan mengantarkanku pada kematian.” Aku tidak main-main, mati terdengar lebih indah daripada hidup tapi mati.

Kata-kataku mungkin sulit untuk di cerna karena detik-detik berlalu dalam keheningan menunggu jawaban Diana. Dia terpaku dengan dada yang naik turun, aku pun bergeming menanti kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Di,” kusadarkan Diana dengan panggilan pelan. Responnya terhenyak kemudian terlihat kikuk dengan mengerjapkan matanya sekali, kertas-kertas yang dia bawa di sisi tubuhnya di tarik ke dekapannya.

Aku bahkan tidak tahu apa alasan mengapa aku harus lahir, apalagi Diana yang bukan siapa-siapa. Aku memang bodoh dengan pemikiran-pemikiran aneh. Kulangkahkan kakiku gontai ke arah ranjang, lalu menjatuhkan tubuhku di sana.

“Kau tak perlu menjawabnya Di, aku tahu itu pertanyaan terbodoh yang pernah kau dengar.” kataku berbarengan dengan Diana yang meletakkan kertas-kertasnya di meja, setelah itu dia menghampiriku di ranjang.

“Itu tidak bodoh kok.” Sebuah sentuhan mendarat di kepalaku, kudongakkan kepala dan mendapati Diana tengah memandang ke arahku. Cukup lama hingga dia melepas tangannya dan memandang pada dinding kosong di depannya. “Pertanyaan yang cukup pintar, dan aku akan berusaha untuk menjawabnya dengan pintar juga.” Diana memenggal perkataannya untuk menoleh padaku sejenak, lalu melanjutkan. “Semua orang yang terlahir ke dunia ini punya tujuan dan misi yang harus di capainya. Aku mendapat misi dari Tuhan untuk menjagamu, Mom-mu mendapat misi dari Tuhan untuk melahirkanmu, dokter Liam mendapat misi untuk membantumu, semua orang punya misi masing-masing dari Tuhan.”

“Aku tidak mengerti, maksudku ... aku saja lahir dari ketidaksengajaan, mereka melakukannya atas dasar kesenangan semata. Lalu apa misi yang pantas untukku? Aku saja tidak seharusnya lahir.” Ada benda aneh yang mengoyakku dari dalam. Semoga benda itu cepat membunuhku.

Diana menghela napas sebelum membuka mulut. “Semua anak punya keistimewaan Mae.”

The WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang