Bab 9
Jika kebanyakan orang memilih tidur sebagai jalan untuk sejenak melupakan permasalahan, apa yang harus kulakukan jika aku bahkan takut untuk sejenak menutup mata?
Kudapati diriku berada di sebuah lorong panjang dengan pencahayaan redup, dinding-dinding di kanan kirinya kusam dan catnya sedikit mengelupas. Ada sebuah cahaya di ujung sana yang menyorot tepat mengenai mataku dan membuatnya silau ketika aku memandang lurus. Tempat lembap ini seperti tidak asing di hidupku.
Kuikuti cahaya itu sebagai petunjuk jalan, semakin jauh melangkah aku semakin yakin jika tempat ini tidak asing dengan hidupku. Ada suara-suara yang kudengar dari balik dinding tak jauh dari tempatku sekarang. Aku terus melangkah sambil berpegangan pada dinding yang kusam, sepanjang lorong yang kulalui yang kulihat melalui jendela hanyalah tumpukan kursi-kursi rusak dan peralatan praktik biologi yang sudah usang dan di lapisi debu tebal.
Suara langkahku yang tadi bergema kini mulai tidak terdengar di telan suara-suara yang semakin terdengar dekat. Hanya butuh beberapa langkah lagi dan aku mencapai tempat suara itu. Sebuah pintu coklat tua sedikit terbuka, menampilkan suasana ruangan yang suram dan mencekam. Kubuka pintu hingga berdecit pelan meski aku sudah membukanya sepelan mungkin, untung saja suara decitan pintu ini tidak terdengar tenggelam oleh suara-suara bentakan dan tangisan pilu seorang perempuan.
Ada banyak orang yang kulihat tengah mengelilingi sesuatu yang aku tidak tahu apa. Baju mereka semua seragam dengan motif kotak-kotak berwarna merah muda, sepertinya aku mengenal seragam yang mereka pakai. Aku semakin mendekat dan tidak ada satu orang pun dari mereka yang menyadari keberadaanku.
“Kau pikir kau siapa? Kau itu hanya anak lemah yang tidak bisa melawan. Ha ha ha.”
“Sok melawan lagi dengan tidak mau memberikan contekannya, sekali lagi kau melakukan itu kupatahkan kakimu!”
“Ahh.” Suara memilukan ini terdengar setelah orang itu selesai berbicara dan suara ‘dagh’ yang menyakitkan terdengar. Lalu suara cekikikan orang-orang itu. Aku ingin tahu sebenarnya apa yang tengah terjadi hingga suara tangis itu semakin terdengar memilukan dan tersendat-sendat juga orang-orang itu semakin keras tertawa. Aku menyeruak barisan mereka namun tanganku tidak menyentuh apapun, yang kudapati aku menembus mereka dan transparan. Sebenarnya apa yang terjadi dan dimana ini?
Pikiran-pikiran aneh itu mulai berputar lagi dan membuatnya sakit, namun sebisa mungkin aku menahan untuk melihat kejadian ini. Seseorang duduk jongkok dengan kepala tertunduk dan memegangi kaki bawahnya yang membiru. Menangis semakin kencang seiring suara tawa orang-orang sambil menyumpah-nyumpah.
“Bagaimana rasanya, sweetheart?” salah satu orang yang tadi memaki-maki mendekat ke arah gadis yang terduduk, melayangkan tatapan membunuh dan tersenyum puas, lalu dengan kasar gadis pemaki itu mendongakkan kepala si gadis malang hingga terdengar suara hantaman di dinding.
Aku menyumpah ingin menyumpal mulutku sendiri dengan sebuah tinjuan karena apa yang kulihat setengah mati membuatku syok. Wajah gadis itu, sangat mirip denganku. Aku ingat baju motif kotak-kotak merah jambu itu adalah seragam sekolah yang kugunakan terakhir kali ketika sekolah, dan perempuan-perempuan yang tertawa itu adalah teman sekelasku, ruangan ini sama persis seperti gudang belakang sekolah dengan tumpukan kursi-kursi tak terpakai. Lalu siapa gadis malang itu?

KAMU SEDANG MEMBACA
The Way
Teen FictionMaegan West merasa dirinya berbeda dari gadis remaja seusianya. Ketika teman-temannya menghabiskan setengah waktunya di sekolah dengan canda tawa, Mae justru harus rela tinggal di rumah sakit jiwa dan menjalani terapi. Gadis ini tidak pernah ingat h...