Love, live, laugh.
“Mae, apa kau ingat apa yang kau lakukan kemarin sore?”
Aku hanya menggeleng lemah sebagai jawaban atas pertanyaan yang di lontarkan dokter Liam. Hari ini terapi kembali kami jalani untuk yang ke enam kali dan dokter Liam terus mengintimidasiku dengan pertanyaan-pertanyaan anehnya.
“Lalu lukamu karena apa?” dokter Liam kehilangannya otaknya, bagaimana bisa dia menanyakan pertanyaan bodoh ini kalau pertanyaannya tadi sudah mewakili semuanya. Namun tetap saja, aku melihat ke arah tangan kiriku yang di perban hingga aku sulit merasakan telapakku sendiri.
“Aku baru pagi ini mengetahuinya.” Kujawab jujur pertanyaan ini. Dokter Liam menatap bergantian antara diriku dan macbook di hadapannya yang tadi di serahkan Diana, kacamatanya dia turunkan untuk kemudian menghembuskan napas panjang dan berat.
“Ini kamarmu kan?” macbook itu diarahkan ke arahku sehingga aku bisa melihatnya sekarang. Kuperhatikan sejenak video yang terputar tidak jelas itu hingga aku mengenali bahwa video itu berlatar belakang kamarku yang redup. Tulisan di atasnya tertulis Monday, day 28th August, 2014 03.00 PM. R3. Ini adalah rekaman cctv di kamarku. Apa yang kulakukan dalam video itu?
“Ini kamarmu kan?” suara dokter Liam menyentakku ke dunia tempatku berpijak. Suaranya yang sedikit keras mirip seperti bentakan dan ini membuatku sedikit takut dan pemikiran aneh itu datang lagi. Bagaimana jika dokter Liam adalah orang jahat yang ingin membunuhku atau iblis yang menyamar? Kutarik kakiku ke atas sofa dan menenggelamkan kepalaku di antara kaki. Semua orang kini menyalahkanku dan berteriak memaki, bahkan dokter Liam yang kukira adalah jelmaan malaikat kini berubah menjadi iblis dengan parang panjang di tangannya.
Hawa dingin itu datang lagi bersamaan dengan tangan seseorang yang menyentuh pundakku. “Mae maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu takut. Semua ini kulakukan untuk mengetahui dirimu yang sebenarnya.”
Diriku yang sebenarnya? Jadi selama ini aku hanya dalam penyamaran atau apa?
“Mae, dengarkan aku. Kau tidak perlu takut dengan apapun, aku dan Diana akan selalu ada untukmu dan membantumu. Jangan takut lagi ya?” kedua tanganku yang menangkup di telinga dituntun sebuah tangan untuk turun, sangat lembut hingga kurasa ada sebuah desiran ajaib hingga pemikiran itu hilang digantikan ketenangan perlahan.
Dokter Liam tersenyum tepat di depanku, wajahnya bersahabat dan dia telah melepas kacamatanya. Mata coklat tenangnya menatapku dalam seolah meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja.
“Kau sudah tenang? Bisa kita mulai lagi terapinya?” aku tidak berpikir untuk mengangguk namun tatapan dokter Liam membuatku melakukannya. Dokter Liam telah kembali menjadi malaikat dan aku bersalah sempat menganggapnya iblis.
♥♥♥
Sesi terapi ke enam dengan dokter Liam tak jauh berbeda dengan waktu pertama kali aku bertemu dengannya, ditanyai pertanyaan aneh yang semua tidak pernah kualami atau kuingat dalam hidupku. Dia menyuruhku untuk mengatakan semua apa yang kurasakan selama beberapa waktu terakhir, kecemasanku, ketakutanku, surat-surat rahasiaku, dan dia mengontrol semua kegiatanku di kamar melalui kamera cctv. Dia bilang aku semakin mendekati tahap untuk mengetahui penyakit apa yang aku derita dan dia membesarkan harapanku dengan mengucapkan ‘Kau bisa sembuh Mae, tergantung kemauanmu seberapa besar ingin sembuh’. Diana mengatakan bahwa aku harus sembuh. Aku akan sembuh untuk Diana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way
Teen FictionMaegan West merasa dirinya berbeda dari gadis remaja seusianya. Ketika teman-temannya menghabiskan setengah waktunya di sekolah dengan canda tawa, Mae justru harus rela tinggal di rumah sakit jiwa dan menjalani terapi. Gadis ini tidak pernah ingat h...