Aku tahu setitik cahaya itu pasti datang dan membebaskanku dari segala kekosongan ini.
“Mae,” Diana tengah menyendokkan makananku ketika membuka mulut. “Kau hari ini tidak usah menemui dokter Liam dulu ya, kita ke kelompok bermain saja. Justin menanyakanmu terus loh.” Matanya mengerling menggoda sejurus dengan menyuapkanku. Aku tidak tahu mengapa ia jadi genit seperti itu, yang kutahu aku harus segera membuka mulut untuk menerima makanan itu.
“Memangnya dokter Liam kemana?” kutanyakan hal yang menganjal.
“Dokter Liam tidak praktik siang, dia sudah pulang ke rumahnya dan menyuruhmu untuk terapi besok saja.” Kutengok jam di samping dan memang ini sudah siang, bahkan mendekati sore. Pukul tiga tiga puluh.
“Di,”
“Hem.”
“Aku sudah kenyang.” Kubuka mulutku ketika melihat Diana masih menyendokkan makanan dan akan segera disuapkan padaku. Diana terlihat terkejut namun akhirnya dia meletakkan piring yang baru berkurang setengah itu ke meja. Bangkit dari ranjang untuk menekan tombol di dinding dan kembali lagi ke bangkar, menimbulkan bunyi decit.
“Sekarang kita ke ruang bermain, ya.” Diana kembali bangkit dan mengambil kertas-kertasnya di atas meja sebelah bangkar. Kemudian melangkah lagi ke arah ranjang, meraih tanganku hendak menuntun seperti biasa namun aku menahannya.
“Aku lelah Di, aku ingin di kamarku saja.” Kulihat dahinya berkerut setelah aku mengatakannya.
“Mae,” dia membelai rambutku, “Kau harus bersosialisasi agar banyak teman, semua teman-teman di kelompok sudah menanyakanmu, jadi kau harus ke sana sekarang.”
Aku tahu kata teman namun tidak tahu dengan artinya. Aku bahkan tidak pernah benar-benar memiliki teman.
“Ayo.” Diana tetap menarik tanganku, sedikit memaksa meski tetap lembut. Aku tidak bisa melakukan apapun selain menurutinya. Rasanya aku ini memang boneka yang bisa digerakkan oleh siapa saja. Tidak boleh menolak atau hanya akan di buang di tempat sampah dan terpisah.
Tanpa kusadari kami sudah sampai di ruang yang biasa kukunjungi siang hari, namun kali ini berbeda karena sekarang sudah sore. Diana masuk terlebih dahulu dan menyuruhku untuk menunggu di ambang pintu. Kulihat dia berbicara dengan mentor di kelompokku yang sampai sekarang tidak kuketahui siapa namanya. Pandanganku beralih ke arah meja yang semua orangnya mengenakan pakaian berwarna merah muda, ruangan ini sekarang terlihat berwarna dengan warna-warna baju yang berbeda setiap mejanya.
“Mae,” ada suara yang memanggilku dengan sedikit berteriak, kualihkan pandanganku ke arahnya. Diana terlihat melambaikan tangan menyuruhku masuk.
“Kamu gabung dengan kelompokmu ya.” Diana berbicara setelah aku sampai di dekatnya. Dia kemudian menuntunku ke arah meja yang semua anaknya memakai baju warna merah muda. Berpasang-pasang mata menatapku aneh ketika aku sampai di kursi dan mendudukinya. Anak di hadapanku, yang memegang cangkir, tiba-tiba menghentikan permainannya memutar-mutar cangkir tersebut hanya untuk memandangiku. Aku risih.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way
Teen FictionMaegan West merasa dirinya berbeda dari gadis remaja seusianya. Ketika teman-temannya menghabiskan setengah waktunya di sekolah dengan canda tawa, Mae justru harus rela tinggal di rumah sakit jiwa dan menjalani terapi. Gadis ini tidak pernah ingat h...