Aku harap hari-hari setelah ini tidak lebih buruk.
Kulingkari kalender di atas meja. Monday, day September 16st, 2014. Kemarin tepat sebulan aku tinggal di rumah sakit ini. Bulan ini musim gugur di mulai, mungkin pohon oaks menuju padang ilalang daunnya sedang berguguran, pasti indah melihat daun-daun berwarna coklat itu. Aku harap Justin membawaku kembali ke sana, namun bukan dengan cara diam-diam seperti seminggu yang lalu. Satu hal yang kusadari kalau kupu-kupu di perutku semakin bertambah banyak jika bersama Justin, mungkin dia benar-benar membawa mantra.
Kutengokkan kepala ke samping ke arah jendela yang sudah kubuka. Daun-daun cemara melambai pelan tertiup angin dengan beberapa burung kecil di dahannya, mereka seperti memanggilku untuk mendekat. Aku beralih ke jendela dan memandang keluar. Pemandangan benar-benar indah dengan guguran daun oaks di aspal, kusapukan pandangan lebih jauh, hamparan ilalang yang kurasa ilalangnya tidak pernah mati menyambut mataku. Pemandangan yang jarang kulihat adalah ilalang itu ternyata berbunga, aku tidak tahu jenis ilalang apa itu namun bunga coklat yang mirip sosis itu benar-benar indah, mungkin aku bisa menanyakannya dengan Justin nanti. Besi-besi terali terasa dingin ketika kusentuh, kukeluarkan sebelah tanganku di antara celah terali untuk menyentuh dunia luar. Tangan kananku kini sudah sepenuhnya berada di luar ruangan seolah hendak menyentuh jajaran pohon oaks itu. Angin lembut terasa membelai tanganku, aku bisa merasakannya, aku hidup seperti kata dokter Liam. Aku hidup dan aku berhak mengendalikan diriku sendiri.
Lama kulakukan aktivitas ini sampai sebuah suara memanggil.
“Mae, kau siap kan?” itu suara Diana, dia kembali masuk ke kamarku.
“Sudah.” Kujawab pertanyaan Diana setelah beranjak dari jendela. Dia mengintip apa yang ada di belakangku.
“Pemandangannya indah ya?” kurasa Diana menebak apa yang baru saja aku lihat dan dia benar. Kalau aku punya koin aku akan memberikan padanya sebagai hadiah, namun sayangnya aku tidak punya koin itu. Aku akan memberikan kebebasanku untuk Diana sebagai hadiah karena dia sudah sabar mengurusi semua kelakuan irasionalku.
“Aku hanya melihat pohon oaks yang berguguran, aku suka warna coklat.” Kuulas sebuah senyum sebagai ekspresi rasa senang.
“Besok kalau kau mau keluar lagi bilang ya, agar aku tidak bingung mencarimu.” Diana berucap pelan sambil membelai rambutku.
“Di, apakah kau marah padaku karena kejadian itu?” kudongakkan kepalaku hingga pandangan mata kami bertemu. Perasaan bersalah itu muncul lagi.
“Tidak, aku hanya takut kau menghilang dan tidak kembali lagi.” suaranya yang lembut tidak mampu membuatku tenang. Bagaimana jika dia hanya menipu dan mencari waktu yang pas untuk membunuhku? Bagaimana jika dia membelai rambutku untuk tiba-tiba menjambaknya? Bagaimana jika....
“Kau tidak boleh berpikiran aneh ya.” Diana kembali berucap seolah dia mendengar suara hatiku yang mencurigainya. Apa aku tanpa sadar menyuarakannya? Kuingat-ingat lagi namun aku yakin aku tidak menyuarakannya.
“Aku minta maaf.”
“Aku sudah memaafkanmu, sekarang kau minum obat dulu ya?” Diana menghela napas kemudian beralih ke meja, mengambil nampan yang berisi beberapa bungkus obat dan segelas air mineral.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way
Teen FictionMaegan West merasa dirinya berbeda dari gadis remaja seusianya. Ketika teman-temannya menghabiskan setengah waktunya di sekolah dengan canda tawa, Mae justru harus rela tinggal di rumah sakit jiwa dan menjalani terapi. Gadis ini tidak pernah ingat h...