Selama kurang lebih enam tahun, Ahn Hyungseob berjuang sendirian untuk menghidupi keluarga kecilnya. Hanya ada ia sendiri dan Ahn Rui, anak laki-laki satu-satunya yang ia miliki. Malaikat kecil itu begitu menggemaskan, dengan mata sipit dan gigi yang tak tertata rapi. Senyumnya sangat manis, hingga Hyungseob selalu memaafkan apapun kesalahan yang dilakukan sosok menggemaskan itu. Hyungseob mungkin tidak akan bisa bertahan dari kejamnya dunia tanpa ada Rui di sisinya.
Beruntungnya, tiga tahun belakangan, Hyungseob dapat bekerja di sebuah perusahaan berskala besar sebagai karyawan tetap. Kedudukannya tidak lagi sebagai tukang bersih-bersih ataupun kedudukan rendah bergaji minimum—seperti yg pernah ia lakukan sebelumnya. Kini, Hyungseob bekerja sebagai bagian dari Divisi Marketing perusahaan elektronik. Memang kedudukannya tidak terlalu tinggi, tapi dengan gajinya yang sekarang, Hyungseob bisa menyimpan lebih banyak. Dari sana-lah kualitas hidup Hyungseob membaik.
Bicara tentang Hyungseob tentu tidak terlepas dari Rui.
Hyungseob mengandung dan melahirkan Rui di usianya yang—mungkin—sangat muda untuk patokan usia melahirkan masyarakat Korea Selatan. Lebih jelasnya, Hyungseob melahirkan Rui ketika ia menginjak akhir semester dua masa kuliahnya, saat Hyungseob masih menginjak usia sembilan-belas tahun. Kenangan itu begitu menyeramkan layaknya mimpi buruk. Andai saja Hyungseob dapat melupakan segala tentang masa mudanya yang hancur, ia akan melakukannya dengan senang hati. Melupakan segalanya, termasuk 'orang itu', ayah kandung anaknya, Ahn Rui.
Kantornya mulai sepi, mengingat sudah lebih dari sepuluh menit lalu jam kerja selesai. Hyungseob sendiri masih sibuk dengan beberapa dokumen laporan bulanan dari Divisinya. Besok pagi, ia harus menyerahkan dokumen itu kepada Manager Divisi. Ya, Hyungseob sebenarnya tidak butuh waktu lama. Dia hanya perlu memastikan isinya benar dan pekerjaannya selesai.
Saat di rasa pekerjaannya selesai, Hyungseob merapikan mejanya secepat mungkin dan bergegas menjemput Rui di tempat menitipan anak.
Rui akan masuk kelas satu sekolah dasar beberapa bulan lagi. Membayangkannya saja, Hyungseob sudah dibuat senang tak karuan. Sepertinya Ahn Rui tumbuh terlalu cepat.
Kadang ada perasaan tidak rela jika suatu saat nanti anaknya akan memiliki teman bermain sendiri diluar sana dan hang-out ataupun memiliki kekasih, Hyungseob pasti akan merasa kesepian. Hyungseob tidak ingin membagi Rui dengan siapapun.
"Oh, Selamat sore, Hyungseob-ssi." Hyungseob disambut sapaan hangat Park Jihoon, pemilik penitipan anak dimana Rui berada.
"Selamat sore juga, Jihoon-ssi. Kuharap Rui tidak merepotkanmu hari ini."
Jihoon berjalan ke dalam gedung diikuti Hyungseob yang melangkah pelan di sebelahnya," Rui cukup tertib hari ini, dia terlihat senang mendapat teman baru."
"Syukurlah kalau Rui tidak merepotkan."
Mereka berhenti di depan pintu dengan lubang kaca di tengahnya. Dari sana Hyungseob dapat melihat Rui yang asik menyusun balok kayu warna warni dengan anak perempuan cantik.
"Itu dia anak barunya," Jihoon tersenyum gemas,"Rui terlihat sangat senang, bukan?"
"Eih, anakku sudah semakin besar."
"Mungkin saat besar nanti, dia yang akan merayu orang yang disukainya."
Hyungseob terdiam, mengamati Rui dengan matanya yang mulai berair. Tidak, Rui tidak boleh tumbuh seperti 'orang itu'. Sebelum ia benar-benar tenggelam dalam kekalutannya, Hyungseob sesegera mungkin mengalihkan perhatian, membalas kalimat Jihoon dengan tawa yang terdengar sumbang.
Pun dengan itu, Hyungseob membuka pintu dihadapannya. Ia melihat bagaimana Rui secepat kilat bangkit dari duduk dan menariknya mendekati anak perempuan yang bermain bersamanya.
"Mom! Mom! Kenalkan, namanya Chaewon," Hyungseob tersenyum lebar," dan Chaewon-ie, ini Mommy."
"Halo, Chaewon-ie," anak kecil itu tersipu malu,"hari ini Rui pulang duluan, ya? Besok kalian bisa bermain lagi."
"Baik, Mommy-nya Rui."
Ya Tuhan, Hyungseob gemas sekali.
Anak perempuan itu beralih pada Rui dan memegang kedua tangan anaknya seperti sepasang kekasih,"Rui, hati-hati di jalan, ya? Besok kita main lagi."
"Oke. Sampai jumpa."
Kemudian satu kecupan hinggap di pipi Chaewon. Well, Hyungseob maupun Jihoon tidak dapat mengantisipasinya. Ahn Rui mungkin memang punya keturunan darah daging playboy yang menurun dari seseorang.
"Baiklah, ayo." Ajak Hyungseob. Berikutnya, Hyungseob sudah melangkah menuju rumah dengan Rui di gendongannya.
"Apa Rui suka Chaewon-ie?" Hyungseob hanya iseng saja menanyakan ini, toh mereka masih anak kecil, setidaknya ia bisa membentuk kepribadian Rui menjadi lebih baik kedepannya sehingga jikalau mereka suatu saat nanti melangkah ke suatu yg serius ketika dewasa.
"Chaewon-ie cantik, Rui sangat suka."
Hyungseob terkekeh gemas,"Kalau begitu, perlakukan Chaewon-ie dengan baik. Janji?" Tangan Hyungseob terulur kehadapan wajah anaknya, menampakkan jari kelingking yang mencuat keluar.
Pun, disambut kilat oleh Rui,"Janji!"
Hyungseob bersyukur setidaknya Rui bukan anak yang sulit untuk mempelajari mana yang benar dan mana yang salah.
Hyungseob ingat kala ia mengandung Rui, ia berjanji untuk tidak menganggap ayah biologis Rui lagi. Sejak Sekolah Menengah Pertama, Hyungseob sudah hidup sebatang kara dan beberapa tahun kemudian memiliki anak diluar pernikahan yang sah, ia menjadi begitu marah dengan kenyataan. Ada dendam yang membara di dalam dadanya, bukan untuk anak yang tengah ia kandung, tetapi pada laki-laki yang malu mengakui bahwa janin di perut Hyungseob adalah anaknya.
Hyungseob tidak akan mau lagi menyebut namanya.
Hyungseob bersumpah.
to be continued...
Segini aja percobaan awalnya. Kalo banyak yang minta lanjut, pasti dilanjut kok, ehehe.
Emang sengaja FF ini mau aku bikin short-fic aja. Jadi jangan berharap setiap chapternya lebih dari 1k words seperti acu yang biasanya.
Btw—
Jangan lupa vote and comment, yak💕
KAMU SEDANG MEMBACA
toast and butter • jinseob
Fanfiction[hiatus] ㅡㅡㅡㅡㅡ ❝ Ahn Hyungseob and Ahn Rui just like toast and butter, inseparable ❞ ㅡㅡㅡㅡㅡ • woojin x hyungseob • b x b yeowonn © 2019