Rapat bulanan berhasil Hyungseob lalui dengan baik, meskipun masih tersisa sensasi menegangkan, setidaknya ia bisa menikmati presentasi perdananya di kantor baru. Dan kini, ia hanya fokus memulihkan diri dari kondisi terintimidasi dengan duduk di balik meja kerja. Di tangannya ada foto rui setahun yang lalu. Sempat tidak terbayangkan bagaimana Rui kelak akan seperti apa, membayangkan pun serasa tidak cukup bagi Hyungseob. Ia akan menanti Rui dewasa dengan sabar.Soal Park Woojin, pria itu tidak membantu seperti yang sempat dikatakannya pagi tadi dan merupakan suatu hal baik. Woojin tetap duduk di kursinya dengan tampang menyebalkan, kadang pula terlihat tidak fokus pada penjelasan Hyungseob seolah sedang berpikir, pun Hyungseob tetap acuh pada gerak-gerik Woojin.
Ketukan pintu akhirnya mengalihkan Hyungseob dari lamunan.
Heejin memasuki kantornya dengan senyum tipis nan cantik,"Pak Woojin meminta Anda untuk datang ke ruangannya." Ujarnya kemudian.
Hyungseob terang-terangan menghela nafas, ia cukup kesal karena sepertinya Park Woojin tidak mengerti maksud dari 'tidak membuat karyawan lain curiga'. Isu-isu melenceng yang Hyungseob khawatirkan mulai menyebar, kegiatan mencurigakan ini pun harus segera selesai.
"Ya, aku segera kesana."
Heejin hanya tersenyum maklum setelah menangkap gertur tidak senang Hyungseob. Mungkin isu-isi yang beredar itu salah, pikir si Gadis. Jika memang sudah waktunya, ia akan mencoba untuk meluruskan kesalahpahaman hubungan tidak lazim antara Hyungseob dan Woojin di mata karyawan lain.
Agaknya hari yang Heejin nantikan tiba lebih cepat. Besok adalah hari libur dan yang tersisa di kantor bagian marketing hanya ia dan Hyungseob. Setelah beberapa menit kantor bagian kosong, Hyungseob memanggilnya masuk ke ruangan dan memintanya duduk bersebelahan.
"Aku ingin kita bicara sebagai teman, Heejin-ah." Suara Hyungseob terdengar serak kala itu dan Heejin tidak bisa untuk bilang tidak.
"Ke-kenapa?"
"Menurutmu apakah aku punya suami?"
Seumur-umur, Heejin tidak pernah menyangka akan ditanyai seperti itu, bahkan oleh seorang yang begitu mengayomi bawahannya. Pun Heejin mengangguk kaku. Tidak pernah terpikirkan pula Hyungseob ini bersuami atau tidak, tapi kalau ia memiliki anak, harusnya ia juga punya suami, kan?
Anggukan Heejin menjadi alasan kekehan sedih Hyungseob. Ada riak tidak menyenangkan dari wajah si laki-laki tapi Heejin tidak menanyakan lebih jauh, lebih baik dia yang menunggu di jelaskan.
"Aku tidak pernah menikah," Hyungseob mengalihkan matanya pada foto Rui,"Satu-satunya keluarga yang aku miliki hanya Rui."
"Itu artinya anda melahirkan sendirian?"
"Iya, tanpa keluarga ataupun pendamping."
Kepala Heejin kemudian berisi cuplikan drama-drama picisan yang sempat ia tonton di hari libur, dimana tokoh utamanya hamil di luar nikah dengan akhir bahagia, bukan kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh seorang laki-laki hamil sendirian. Bayangkan, Hyungseob bertahan hidup selama bertahun-tahun dan satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab malah melarikan diri.
"Ya Tuhan, aku benar-benar tidak akan memaafkan orang tidak bertanggung jawab itu."
Hyungseob terkekeh lirih, cukup lucu rasanya melihat Heejin marah. Bukah hanya marah, gadis itu juga terlihat berkaca-kaca seolah ia ikut merasakan beratnya hidup Hyungseob.
"Kalau orang itu adalah Park Woojin, bagaimana?"
Eksekutif muda tentu harus belajar membangun relasi dengan eksekutif muda lainnya. Pikiran semacam itu terlintas begitu saja di kepala Lai Guanlin ketika jabatan sang Ayah akan diturunkan kepadanya. Guanlin kecil memang tidak mau untuk meneruskan bisnis keluarga, namun semakin dewasa, ia mulai mengenal dunia yang tidak lebih dari harta dan tahta. Guanlin tentu tidak menolak untuk kedua kali.
Gedung tinggi di hadapan Guanlin menjadi salah satu tujuan bisnis selanjutnya. Berbekal senyum tampan dan percaya diri, kakinya menjajaki lantai dasar dengan mantap.
"Saya ingin menemui Park Woojin."
"Oh!" Wanita penunggu meja resepsionis itu terkesiap kaget, tidak menyangka pria setampan Guanlin berdiri di hadapannya,"Nama Anda?"
"Lai Guanlin."
"Apakah Anda sudah membuat janji?"
"Ya."
"Baik, tunggu sebentar."
Sementara Si Wanita menelfon seseorang, Guanlin sibuk menjelajah seisi ruangan dengan kedua obsidiannya.
"Mari saya antar."
Perjalanan menuju lantai delapan tidak selama yang Guanlin pikir, pun wanita yang mengantarnya segera undur diri ketika ia disambut seorang pria cantik yang kemungkinan adalah sekretaris Park Woojin. Rambutnya sedikit panjang dan berwarna pirang, sedangkan dua manik matanya coklat bersinar dengan bulu mata lentik, tubuhnya sendiri mungil serta kurus.
"Saya Lee Felix. Dengan Tuan Lai Guanlin, benar?"
Guanlin menyambut uluran tangan mungil Felix antusias. Wah, Park Woojin pasti senang punya sekretaris secantik ini, pikirnya.
"Maaf, Anda harus menunggu sebentar. Tuan Woojin masih ada agenda dengan Manager Marketing kami."
"Bukan masalah, aku bisa menunggu."
"Silahkan duduk, saya tinggal sebentar."
Kemudian Felix hilang dibalik pintu masuk ruangan Woojin.
Dua menit kemudian, Felix keluar diikuti seorang pria cantik berkulit pucat, gerakannya gemulai, langkahnya elegan dan wajahnya cantik. Dua pasang mata dari masing-masing orang asing itu bertubrukan secara tidak sengaja sebelum adanya senyum sehangat mentari memenjarakan Guanlin dalam jurang tak berdasar.
Astaga, Guanlin kenapa!?
to be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
toast and butter • jinseob
Fanfiction[hiatus] ㅡㅡㅡㅡㅡ ❝ Ahn Hyungseob and Ahn Rui just like toast and butter, inseparable ❞ ㅡㅡㅡㅡㅡ • woojin x hyungseob • b x b yeowonn © 2019