12 | feelings come and go like clouds in a windy day

228 55 6
                                    



Hari ini tentu akan jadi hari yang tidak terlupakan untuk Rui. Chaewon masih berada dalam dekapan Felix, sedangkan Rui sendiri menunggu waktu sampai Hyungseob melepaskannya dan menghampiri anak perempuan di sisi taman yang lain.

Kadang Hyungseob akan jadi pribadi yang amat protektif dan menyebalkan. Ia seseorang yang mudah khawatir, itu sebabnya Hyungseob akan jadi sangat posesif terhadap apapun yang Rui ingin lakukan. Hyungseob tentu tidak secara gamblang melarang Rui pergi main ataupun mencoba hal-hal baru, ia hanya mengkhawatirkan dampak buruk apa yang akan Rui terima seandainya suati hal berjalan dengan tidak semestinya.

Contohnya seperti saat ini.

Rui sudah hampir lari kalau Hyungseob tidak menahannya terlebih dahulu. Begitu Rui melihat sosok Chaewon, anak itu seakan lupa ada Hyungseob disana.

"Jangan main jauh, tetap disekitar sini. Jangan sampai terluka. Jaga Chaewon juga, Rui mengerti!?"

Rui mendengus kesal, matanya bahkan tidak melihat Hyungseob melainkan pada Chaewon yang tengah melambai padanya,"Iya, Mom."

"Cium pipi Mom dulu, baru boleh pergi."

Kecupan setengah hati itu sampai di pipi Hyungseob, hanya sepersekian detik sebelum Rui berlari ke arah Chaewon.

Matanya dan mata Felix sempat bersirobok, kemudian tertawa bersama karena mereka yakin kedua bocah itu tidak sekedar teman biasa. Memang terlalu cepat di katakan seperti itu, tapi ya sudahlah.

Felix datang dengan sebotol minuman cola dingin, Rui dan Chaewon tengah asik bermain kejar-kejaran bersama anak-anak lain, sedangkan para orang tua bergerombol duduk di pinggiran sambil mengobrol

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Felix datang dengan sebotol minuman cola dingin, Rui dan Chaewon tengah asik bermain kejar-kejaran bersama anak-anak lain, sedangkan para orang tua bergerombol duduk di pinggiran sambil mengobrol. Hanya ada beberapa yang memisakan diri, termasuk Felix dan Hyungseob.

"Haruskah kita jodohkan mereka?" canda Felix.

"Diusia sekecil ini!?"

Hyungseob sebenarnya tidak masalah, ia akan senang juga.

"Kenapa tidak? Aku dan suamiku bahkan dijodohkan sebelum kami lahir."

"Pasti sangat berat menerima kenyataannya."

Felix tersenyum kecut,"Kadang kau harus menghadapinya agar tahu maksud Tuhan. Maksudku, sekarang aku mencintai suamiku tapi saat itu, aku mencintai orang lain yang sudah aku harapkan jadi orang yang akan bersamaku sampai mati. Tentu sulit, aku bahkan tidak bicara pada suamiku selama lima bulan awal pernikahan kami.

"Melupakan tidak semudah itu, ya kan?"

Felix mendengus geli, Hyunseob tidak perlu bertanya untuk tahu jawabannya,"Iya."

Keheningan itu di isi suara ribut daun yang saling bergesekan. Pun tidak bertahan lama juga karena Felix kembali berbicara,"Soal Tuan Woojin—duh, bolehkah aku menanyakannya?"

Hyungseob bukannya benci Woojin, bukan pula benci pada Felix yang menanyakan perihal itu, ia hanya benci mengingat hal tidak menyenangkan yang terjadi antaranya dan Woojin. Namun, bila tidak Hyungseob hadapi, orang-orang akan terus menyebarkan gosip tidak jelas.

Hyungseob kemudian tersenyum,"Tentu, tanyakan saja."

"Bisakah aku tahu alasan Tuan Woojin sering memanggilmu ke ruangannya? Sebenarnya sedikit tidak normal melihat kau keluar masuk hampir setiap hari—jangan hitung aku, bahkan mungkin saja karyawan lain ada yang belum pernah masuk ke ruangannya."

"Jujur aku sendiri tidak mengerti maksudnya, aku menurutinya karena aku pun ingin tahu apa yang ia maksud tapi ia tidak pernah berbicara. Ia akan sibuk di balik meja kerjanya dan aku ditinggalkan duduk sendirian."

Raut Felix berubah was-was,"Tidakkah kau berpikir Tuan Woojin tertarik padamu?"

Suara tawa Hyungseob seolah terdengar ganjil, ada makna tersembunyi disana,"Mungkinkah?"

"Demi Tuhan, gosip itu beredar di kalangan karyawan—"

Hyungseob memotong,"Setahuku gosip paling ramai diperbincangkan adalah Ahn Hyungseob menggoda CEO Park Woojin demi uang."

"Hyungseob bukan itu maksudku."

Felix hanya tidak ingin ia termakan berita tidak jelas. Ia bertanya langsung karena dengan begitu Felix tidak akan ragu untuk memilah antara yang salah dan yang benar.

"Tolong beritahu aku kebenarannya, Hyungseob."

"Lee Felix, ucapanku pasti akan terdengar seperti bualan di telingamu."

"Tidak. Aku jamin tidak begitu."

"Kalau begitu, kau harus siap mendengar banyak kata 'dulu' dalam kalimatku."

Cerita tersembunyi itu kemudian mengalir keluar lewat belah bibir Hyungseob. Bagian-bagian yang berbahaya untuk diperluaskan, Hyungseob hilangkan. Sebisa mungkin tidak menyinggung nama Park Woojin dalam konteks negatif. Ceritanya pun ikut memadat dan singkat.

"Aku, selalu ingin mendengar alasan Woojin pergi tapi aku tidak pernah siap. Aku takut karena berharap terlalu tinggi akan jawabannya."

Tidak ada Rui dalam cerita itu. Seolah Rui adalah bagian lain dari kehidupan Hyungseob, namun dengan begitu, tidak akan ada yang mengganggu hidup Woojin atau bahkan Rui sendiri. Mereka akan jadi dua kesatuan yang terpisah.

Felix diam, tidak tahu lagi harus bicara seperti apa. Awalnya Felix yakin bisa menenangkan Hyungseob tapi sepertinya keadaan berbalik, Felix lah yang lebih butuh di tenangkan.

"Woojin tidak salah. Biarkan aku saja yang salah."

Kalimat itu jadi penutup cerita sedih Hyungseob.

to be continued...

toast and butter • jinseobTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang