Hyungseob masih berdiam di daycare. Hari ini, Rui ngotot sekali untuk menemani Chaewon sampai anak perempuan itu di jemput orang tuanya. Memang hari-hari sebelumnya selalu Rui yang pulang lebih dulu dan hari ini, Rui ingin—setidaknya sekali saja—melihat Chaewon yang pulang duluan.Sebenarnya Hyungseob tidak sepenuhnya diam karena sejak tadi ia sudah mengobrol bersama Jihoon. Pembicaraan mereka pun tidak lepas dari ajakan Bae Jinyoung—pacar Jihoon—untuk kabur dari rumah dan menikah.
"Jihoon, pasti ada cara. Jangan sampai karena ini kalian menyesal nantinya. Bahkan aku yang sudah melewati masa-masa hitam itu tidak bisa berhenti menyesal. Selalu ada harapan untuk setiap orang, begitu pula untukmu dan Jinyoung."
Jihoon memang tidak menangis, namun sorot khawatir dan takut itu terlukis di wajahnya secara nyata,"Jadi aku harus bagaimana?"
"Yakinkan Jinyoung untuk bertahan dan berjuang bersamamu." Suara Hyungseob mengabur disekitar balita berlarian,"Kabur dan menikah bukan hal yang baik."
"Oh!" Wajah Jihoon yang sempat mendung, kembali bersinar. Pun intonasinya yang tiba-tiba antusias, malah mengagetkan Hyungseob,"Selamat datang."
Hyungseob yang tadinya fokus pada Jihoon pun akhirnya ikut menoleh ke arah pintu masuk, namun siapa sangka ada sosok yang sangat ia kenali berdiri di depan pintu dengan setelan jas lengkap.
Sosok itu berseru kaget,"Hyungseob!?"
"Jadi Rui itu anakmu?"
"Ya, siapa lagi." Nada iseng itu terdengar menggelikan,"Aku hanya punya satu."
"Chaewon sangat senang menceritakan Rui, sampai aku penasaran setengah mati Rui itu anak daycare yang mana, kau tahu!?"
"Omong-omong, Chaewon sangat mirip denganmu."
Sosok pria cantik berambut pirang dihadapan Hyungseob kemudian terkekeh senang, pipinya yang bertabur frekles tertarik ke atas akibat senyum.
"Kau juga harus lihat Haerim, kakak Chaewon. Kami bertiga sangat mirip. Ayahnya bahkan sampai marah karena tidak punya kemiripan fisik dengan keduanya."
Lee Felix yang Hyungseob temui di kantor tidak pernah bicara seekspresif ini. Biasanya, ia akan bersikap tenang dengan suara berat yang tegas dan tentunya tidak seceria sekarang. Setiap memasuki ruangan Woojin pun, Felix jarang sekali menyapanya dengan basa-basi. Ia hanya akan tersenyum tipis dan mempersilahkan Hyungseob masuk.
"Kenapa?"
"Kau cerewet juga, ya?"
Hyungseob hampir menyesal keceplosan jika saja Felix tidak tertawa setelah termenung beberapa saat,"Kalau aku begini juga di kantor, kita mungkin tidak akan bekerja."
Setelah dipikir lagi, memang benar. Mereka bisa saja berakhir duduk di depan ruangan Woojin dan bercerita tanpa ingat waktu.
Lagi.
Setelah Hyungseob membiarkan Woojin bertemu dengan Rui, ibu Woojin kembali datang. Tidakkah pertemuan malam itu lebih dari cukup untuk mengenalkan masing-masing individu?
Di lorong apartemen, Hyungseob berdiri angkuh, menunjukkan ketidaksukaan terhadap sosok wanita paruh baya tersebut.
"Apa lagi yang Ibu mau?!"
Sepasang manik tua termakan usia itu merefleksikan kegoyahan,"Ibu mohon, menikahlah dengan Woojin."
Entah hanya kedengarannya saja atau bukan, nafas Hyungseob terdengar berat, seolah beban hidupnya bertumpu di udara sekitar.
"Bu, aku tidak hidup hanya untuk ini. Tolong mengertilah."
"Ibu ingin kamu—"
"Tapi Woojin tidak, Bu."
"Nak, Woojin bisa diatur. Ibu yang akan mengurusnya."
Alis Hyungseob menukik, menampilkan sedikit raut marah dan tidak percaya,"Lebih baik Ibu pulang."
Suara bantingan pintu menjadi penutup percakapan mereka malam itu.
Langit malam Seoul gelap sekali malam itu. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Hanya ada suara gemuruh menakutkan, kilatan cahaya terang dan air yang layaknya ditumpahkan dari langit. Dinginnya suhu cukup menusuk namun beruntungnya terhalang oleh penghangat ruangan.
Hyungseob duduk di meja makan dalam remang-remang, ditemani oleh segelas teh chamomile dan keripik kentang balado. Rui sudah tidur sejak dua jam lalu ketika badai di mulai dan kini giliran Hyungseob istirahat.
Matanya fokus pada satu titik; bangku kosong yang sempat di duduki Woojin pagi itu. Bahkan gambaran sosok pria dewasa bergingsul dengan kaos hitam masih bisa Hyungseob rasakan kehadirannya.
Ada sedih, rindu dan amarah dalam senyum tipis Hyungseob malam ini. Dan sepertinya, amarah itu merujuk pada dirinya sendiri.
Setelah bertahun-tahun sendirian dan tidak bertemu, Hyungseob menyadari, ia tetap menatap Woojin seakan Woojin adalah Woojin yang dulu, jauh sebelum mereka termakan oleh sakit hati dan kemarahan.
Mungkin memang benar jika api itu masih ada, namun tidak lagi membara.
Setidaknya belum.
to be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
toast and butter • jinseob
Fanfiction[hiatus] ㅡㅡㅡㅡㅡ ❝ Ahn Hyungseob and Ahn Rui just like toast and butter, inseparable ❞ ㅡㅡㅡㅡㅡ • woojin x hyungseob • b x b yeowonn © 2019