Pagi di hari Minggu, Hyungseob sibuk di rumah dengan Rui yang menunggunya di meja makan sambil bermain game di tablet yang khusus Hyungseob belikan untuk Rui.
Kian hari, Hyungseob kian bersyukur kualitas kehidupannya semakin membaik. Mereka bahkan mampu pindah ke apartemen yang jauh lebih baik dengan uang yang Hyungseob kumpulkan selama kurang lebih dua setengah tahun.
"Rui suka tidak rumah kita yang sekarang?" Hyungseob iseng bertanya, sekedar untuk mengalihkan perhatian anaknya agar sedikit terlepas dari game di tablet. Dan benar saja, tablet itu kini tergeletak di atas meja dengan layar yang telah mati.
Sebenarnya Hyungseob tidak perlu menanyakan hal itu. Sejak seminggu lalu—hari dimana mereka baru pindah—Rui terlihat sangat senang. Tanpa diberi tahu pun, Hyungseob mengerti. Jangan lupakan juga kalau mereka ini Ibu dan Anak yang pasti memiliki ikatan batin.
Kaki-kaki kecil yang menggantung karena kursi yang didudukinya terlalu tinggi itu bergerak aktif,"Suka sekali, Mom. Rui sekarang bisa punya kamar sendiri."
"Syukurlah. Sekarang ayo sarapan dulu, setelah itu kita siap-siap ke taman bermain."
Rui memekik kegirangan, kemudian menyantap nasi goreng buatan Ibunya lahap, sedangkan Hyungseob duduk di sebelahnya, memandang Rui gemas. Sesekali juga sibuk terhadap kelakuan anak semata wayangnya saat sedang makan.
Sepertinya sudah lama Hyungseob bisa melihat Rui segembira ini.
"Mom, Rui lelah."
Hyungseob tersenyum tipis dan dengan cekatan menarik Rui naik ke gendongannya. Hari sudah siang dan Rui sudah mencoba segala wahana yang sesuai dengan umurnya. Mereka hanya perlu mampir ke Supermarket sebentar untuk membeli keperluan dan bahan masak sebelum pulang. Hyungseob tidak ingin bohong, tetapi ia juga lelah.
"Kalau begitu ayo kita pulang—"
"Nak Hyungseob?"
Hyungseob berbalik dengan kaku. Suara itu. Tentu Hyungseob sangat mengenali suara lembut yang dua tahun belakangan ia coba hindari. Juga menjadi salah satu faktor utama mengapa Hyungseob mengumpulkan uang dengan giat dan segera pindah rumah.
Sebuah tangan mencekal lengan atasnya. Tidak sakit memang, tapi kalau tidak dicekal erat, Hyungseob mungkin segera lari. Namun kalau lari pun, Hyungseob takut Rui malah akan ikut merasa takut.
Mata Hyungseob mendapati seorang wanita paruh baya dengan sorot mata memohon,"Kamu ingat Ibu 'kan, Nak?"
Pupil Hyungseob berlarian kesana kemari, entah karena gugup ataupun takut,"Eung...—Ya." Ujarnya kemudian.
"Apa ini Rui?"
Jantung Hyungseob berdetak kencang, seolah ingin melompat keluar dari dalam tubuh Hyungseob. Wanita ini memang tidak pernah menyakiti Hyungseob, tetapi untuk bertemu dengannya, Hyungseob rasa, ia tidak perlu.
"Iya."
"Rui sudah besar sekarang." Bisa Hyungseob lihat binar mata yang terkagum-kagum melihat Rui, seolah Rui adalah barang berharga yang rapuh.
Rui yang sejak tadi memperhatikan wanita itu, seketika menoleh cepat ketika menemukan Ibunya yang tertawa tak nyaman. Seakan mengerti keadaan, satu-satunya bocah yang berada disana memeluk leher Ibunya erat dengan mata yang menatap wanita paruh baya itu sengit.Wanita itu tertawa gemas ketika tahu arti tatapan Rui,"Rui, ini nenek—"
"Mom, pulang...."
Hyungseob bersyukur dengan rengekan Rui yang datangnya tiba-tiba, sekalipun ia juga tidak tega melihat wanita dihadapannya tersenyum kecewa. Ia hanya tidak tahan berada dihadapan wanita itu. Anak wanita itu sudah membuatnya merasakan pahitnya hidup hanya bersama Rui. Tentu, Hyungseob tidak ingin bertemu dengan siapapun yang memiliki relasi dengan ayah biologis Rui.
Rui sendiri, memang bocah berusia enam tahun, tetapi dibalik tubuhnya yang kecil itu terdapat pemikiran dewasa yang terkadang tidak dimiliki orang dewasa.
"Saya harus segera pulang—"
Lagi, wanita itu mencekal lengannya ketika Hyungseob hendak pergi. Ada sorot memohon dari mata wanita bernama Park Haerin itu.
"Nak, kau bisa menghubungiku sewaktu-waktu jika mengalami kesulitan. Kau tahu kalau aku akan selalu membantu 'kan?"
Namun Hyungseob enggan menjawab, ia hanya membalas kalimat wanita itu dengan senyum canggung dan segera undur diri.
Pagi ini Rui terlihat lesu. Anaknya merengek merasa pusing, nafsu makannya pun menurun drastis sejak terakhir mereka makan malam bersama. Merasa hari ini bukan momen yang tepat untuk tetap berangkat bekerja, Hyungseob segera menghubungi Manager-nya di kantor dan mengabarkan kalau ia akan menjaga Rui yang sakit. Manager-nya pun dapat memaklumi keadaan Hyungseob sebagai single-parent.
Hyungseob juga tidak lupa mengabari Jihoon tentang keadaan Rui. Pemuda tembam ini terdengar sedih ketika mendengar Rui yang sakit dan berjanji akan mengatakan pada Chaewon untuk tidak khawatir dengan abstain Rui dari tempat penitipan.
Hyungseob sudah berulang kali memeriksa suhu tubuh Rui, namun nampaknya suhu tubuh bocah itu normal. Sudah jelas bahwa Rui tidak demam.
"Rui-ya, ayo makan sesuap saja."
Bubur yang hampir dingin di tangan Hyungseob itu masih belum berkurang sedikit pun. Sudah sekitar dua puluh menit Hyungseob membujuk Rui untuk makan, namun selera makan anaknya memang telah hilang.
Seakan tidak menemukan titik terang, Hyungseob akhirnya menyerah membujuk Rui memakan buburnya. Ia akhirnya memberikan Rui beberapa kotak susu. Hyungseob bersyukur ketika Rui menghabiskan lima kotak susu coklat kesukaannya, setidaknya Rui tidak akan kelaparan saat Hyungseob membawanya ke Klinik dekat kompleks apartemen mereka.
Hyungseob kini telah duduk di hadapan seorang dokter Klinik bernama Lee Daehwi, menunggu penjelasan dokter muda itu tentang keadaan Rui yang kini tengah terlelap di kasur Klinik."Apa yang terjadi pada Rui, Hwi?"
Mereka memang cukup akrab, karena selain Hyungseob yang beberapa kali menyambangi Klinik, juga karena apartemen mereka berada di gedung yang sama.
"Tidak ada masalah serius. Gigi taring Rui sepertinya akan segera tanggal dan terganti dengan gigi baru. Rui hanya merasa tidak nyaman karena gusinya sedikit membengkak. Kau bisa memberinya yogurt dingin atau es krim bertekstur lembut untuk beberapa hari ini sehingga bengkaknya berkurang."
Hyungseob menghela nafas lega,"Syukurlah kalau begitu."
Daehwi dan Hyungseob sempat mengobrol beberapa menit disana sebelum akhirnya Hyungseob undur diri dan membawa Rui—yang masih tidur—pulang di dalam pelukannya. Ibu muda itu hanya bisa bersyukur dengan hidupnya.
(Ya, setidaknya untuk saat ini.)
to be continued...
Masih buntu nih bapaknya Rui siapa, tapi udah ketemu neneknya duluan 🌚
Jangan lupa vote dan comment, gaes. Sekedar misuh doang juga aku terima, kok..
KAMU SEDANG MEMBACA
toast and butter • jinseob
Fanfiction[hiatus] ㅡㅡㅡㅡㅡ ❝ Ahn Hyungseob and Ahn Rui just like toast and butter, inseparable ❞ ㅡㅡㅡㅡㅡ • woojin x hyungseob • b x b yeowonn © 2019