Sebulan terakhir, Hyungseob melihat seorang pengusaha muda keluar masuk ruangan Woojin. Tampan, tinggi lengkap dengan senyum menawan. Dilihat dari cara dan intensitasnya berkunjung, kemungkinan ia adalah mitra kerja merangkap teman dari Park Woojin sendiri. Beberapa kali Hyungseob juga sempat berpapasan di lorong ataupun saat keluar dari ruangan Woojin. Dan Hyungseob akui, senyumnya menghipnotis.Soal gosip yang beredar, Hyungseob sudah masa bodoh. Mulut mereka tidak akan bisa di bungkam lagi kecuali dengan kebenaran dan selama kebenaran itu masih Hyungseob simpan, mereka akan terus menggonggong. Toh, selama tidak ada yang mengganggu hidupnya bersama Rui, ia akan tetap diam.
Omong-omong, sejak Felix mengajaknya bicara di event piknik yang lalu, mereka jadi semakin akrab. Tidak pula melupakan fakta bahwa Rui dan Chaewon suka sekali main bersama.
Jam pulang kantor sebentar lagi tiba, Hyungseob buru-buru membenahi beberapa laporan dan merapikan mejanya kemudian. Hyungseob menyelesaikan kegiatannya dibarengi ketukan pintu dan sosok Heejin yang terlihat lelah.
"Aku pulang dulu, ya." ujar Si Gadis.
"Oke. Hati hati di jalan dan istirahatlah."
"Kau juga. Bye!"
"Bye!"
Interaksi santai itu berlangsung singkat saja, kemudian diakhiri suara pintu tertutup.
Untuk beberapa keadaan mereka tidak bersikat seperti seorang atasan dan bawahan. Hyungseob lebih nyaman ketika anggota tim-nya dapat bersikap nyaman satu sama lain—termasuk pada Hyungseob—sehingga kinerja tim semakin baik.
Lagi, daun pintu ruang kerja Hyungseob terbuka. Kali ini bukan Heejin lagi, melainkan Lee Felix.
"Ayo menjemput anak-anak!"
Woojin tidak habis pikir kenapa Guanlin niat sekali mendatanginya bahkan saat kantor hampir tutup. Bocah itu bilang ingin membentuk hubungan kerja yang baik dengan Woojin, tapi dia sendiri menunjukkan sikap sebaliknya.
"Terima kasih waktunya, Kak. Aku akan lebih sering singgah."
"Urusi saja perusahaanmu daripada singgah kemari, Lai Guanlin."
Guanlin terkekeh,"Aku kemari juga demi masa depan perusahaanku, Tuan Park Woojin."
"Apanya yang masa depan, kau hanya duduk-duduk tidak jelas disini."
Pun Woojin kesal atas peringai menyebalkan Guanlin, tidak akan ada amarah yang terlontar.
Guanlin membalas Woojin dengan sikap tak acuh. Matanya sempat melirik jam tangan mahal di pengelangannya sebelum menorehkan senyum menawan,"Nah, aku akan menjemput masa depanku dulu."
Tentu tidak ada sopan santun lagi. Yang lebih muda tiba-tiba keluar tanpa menghiraukan perasaan kesal yang lebih tua.
"Ya Tuhan, bocah itu."
Woojin berusaha tidak memikirkannya, berusaha tidak mengambil hati sikap kekanakan Guanlin. Ia akan fokus untuk pulang dan beristirahat.
Woojin buru-buru mengendarai mobilnya keluar basement. Ada rumor kalau basement kantornya ini berhantu. Satpam yang berjaga malam bahkan sering melihat penampakan dan diganggu. Ya, tapi ada yang lebih menakutkan daripada hantu basement, yaitu pemandangan tidak menyenangkan sosok Guanlin yang mempersilahkan Hyungseob memasuki mobil mewahnya.
"Sialan!"
Pun ada Felix disana, Woojin tidak yakin Felix akan masuk ke mobil yang sama.
"Jadi ini yang dia maksud masa depan."
Sang Ibu heran sendiri melihat Woojin pulang dalam keadaan uring-uringan, berkali-kali menghela nafas dengan bahu yang ikut melorot. Memang sering begitu, tapi tidak biasanya wajah Woojin terlihat sefrustasi itu.
"Ada apa?"
Tubuh Woojin berjengit kaget ketika sang Ibu sudah menerobos masuk ke dalam kamarnya.
"Tidak apa-apa, Bu."
Haejin tentu tidak akan percaya, ada dusta dalam kalimat Woojin. Ditariknya Woojin untuk duduk di pinggiran ranjang,"Tidak baik berbohong pada Ibu sendiri."
Setelah sempat diam sesaat, Woojin memutuskan bercerita kejadian yang dilihatnya sepulang kerja lalu hingga sampailah pada ujung cerita,"Guanlin sepertinya tertarik pada Hyungseob, Bu. Aku harus bagaimana?"
"Kita tidak akan pernah tahu apa yang Hyungseob pikirkan, tetaplah berusaha."
"Tapi apakah semua ini benar? Ayah melarangku untuk menikah dengan laki-laki—"
"Itu karena Ayahmu tidak tahu kau sudah menghamili seseorang dan meninggalkannya begitu saja. Bila ia tahu, Ayahmu tidak akan melarang lagi. Sudah saatnya kau bertanggung jawab, Woojin. Bahkan jika kau tidak dapat menikahi Hyungseob dan menjadikannya bagian dari keluarga kita, buatlah Rui mengakuimu sebagai ayah."
Renungan sesaat Woojin berakhir dengan keputusan mutlak. Dengan senyum bahagia, ia meminta satu pertolongan lagi dari ibunya, permintaan terakhir sebelum Woojin memulai lembaran yang baru,"Bantu aku melamar Hyungseob, Bu."
"W-woojin..."
to be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
toast and butter • jinseob
Fanfic[hiatus] ㅡㅡㅡㅡㅡ ❝ Ahn Hyungseob and Ahn Rui just like toast and butter, inseparable ❞ ㅡㅡㅡㅡㅡ • woojin x hyungseob • b x b yeowonn © 2019