Lebih baik dicintai atau mencintai?
"Kenapa kau memilih datang mencariku di saat aku sudah berdua, Mas? Ke mana hatimu saat debaranku memang jelas tertuju padamu?"
Aku menggigit bibirku, menatap tajam laki-laki di hadapanku yang mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Matanya enggan menatap langsung wajahku, menyiratkan kekecewaan. Mas Dewa, nama laki-laki yang sengaja menjauh dariku dan kini memilih muncul saat aku sudah memutuskan benar-benar menjatuhkan hati untuk yang lain.
"Ketika aku memikirkanmu, jantungku hanya mengalirkan darah menuju kepalaku yang satunya lagi," ujarnya kala itu. Yah, kau memang harus berhati-hati jika dekat dengan orang seni. Terlebih dia pensyair yang menguasai delapan bahasa asing. Kenapa aku bisa mengatakan ini? Tentu saja karena aku salah satu dari mereka, orang-orang yang diberi anugerah oleh Tuhan untuk fasih berbahasa dan menyusun kata. Karena aku sendiri harus berhati-hati dalam memilih kata, agar tidak ada orang awam tanpa sengaja jatuh hati sebab kalimat-kalimatku.
"Mas Dewa, sudahlah. Jangan menunjukkan wajah sarat kekecewaan seperti ini. Aku bahkan tahu, kau datang padaku hanya karena jenuh. Bukan karena benar-benar menginginkanku."
Mas Dewa memejamkan matanya. "Maafkan aku," ujarnya sembari menghela nafas berat.
"Aku sudah memaafkanmu, sejak aku menyadari kau tak akan pernah bisa memberi kepastian tentang bagaimana perasaanmu padaku."
"Bukan begitu, hanya saja aku waktu itu tidak percaya bahwa perempuan zaman sekarang, seumur dirimu, memahami cinta dan-"
"Dan perempuan yang berumur enam tahun di bawahmu ini, menyadari dengan sangat, cinta bisa padam jika diabaikan dan tidak dihargai, Mas. Cinta bisa berpaling pada hati yang lebih menghargai keberadaannya," ujarku menggertakkan gigi. "Memangnya, cinta bagimu yang setiap minggu berganti perempuan yang berbeda-"
"Bagaimana kau-"
"Bagaimana aku tahu? Jelas aku tahu! Komunitas seni kita hanya beranggota kurang dari seratus orang, Mas. Apa yang kauharapkan? Kau tidak bisa merahasiakan hal itu dari mereka. Juga aku."
"Biarkan aku menjelaskan, Bi." Mas Dewa memohon. Aku diam, memberinya kesempatan untuk menjelaskan. "Aku pikir, kau akan sama seperti perempuan lainnya. Hanya mengagumiku. Dan aku terlalu takut untuk memilikimu. Aku takut menyentuhmu. Melukaimu."
"Kau benar. Aku hanya akan menjadi sekadar pengagum puisi-puisimu, karena kau terlalu takut untuk menjatuhkan cintamu padaku." Aku terdiam sejenak saat pelayan menghampiri meja kami dan menawarkan kalau-kalau kami ingin memesan secangkir kopi lagi--yang kutolak karena aku ingin segera beranjak dari sini. "Kau mungkin tidak tahu, Mas, tapi menunggu itu tidak mengasyikkan. Menunggu bukan pekerjaan yang menyenangkan. Menunggu juga bukan pilihan yang ingin kulakukan untuk membunuh waktu. Dan menunggumu, tanpa kepastian, jelas aku menolak.
"Aku tidak sepenuhnya menyalahkanmu. Bukan salahmu kalau kau memang tidak menginginkanku. Hanya saja, jangan kembali mencariku saat aku telah berdua dan kau sedang jenuh dengan koleksi perempuanmu." Aku menghela napas. "Kalau kau hanya ingin mengetahui apakah aku sudah berdua atau belum, kau kini tahu jawabnya. Aku pergi dulu."
***
Aku jatuh padamu, seperti Cinderella; tepat di pertengahan malam itu. Menatap punggungmu dan dunia serasa berputar begitu lambat. Seolah cahaya rembulan mengarah hanya padamu. Sulit untukku berpaling di malam itu.
Pesona warnamu begitu terang. Aku takut mendekatimu, takut menyatakan rasa. Aku takut kita berakhir kembali menjadi dua orang asing. Kau tahu rasaku begitu terlihat, tanpa harus kukatakan dengan jelas. Harusnya begitu.
Aku menginginkanmu. Namun aku tidak ingin dengan cara yang biasa saja. Aku pernah memintamu dengan segenap rasa yang berani kutawarkan pada Tuhan.
Menjauhlah, kalau kau ingin.
Larilah, kalau kau mau.
Sembunyilah, kalau kau bisa.
Sejatinya, kalau kita sejalan, kau akan di sampingku. Namun lihatlah, jalan ini terlalu lebar. Langit itu terlampau luas. Jadi, berzig-zag pun kau bisa.
Dulu. Cerita itu hanya sekadar cerita yang sudah berlalu. Aku tidak lagi menunggumu. Aku sudah tidak lagi berdiri diam untuk menunggu kepastianmu. Kita selamanya hanya akan menjadi penggemar dan idolanya. Meski tidak kupungkiri, bahwa aku masih bisa membisu karena pesonamu.
Sekarang, aku sudah berdua dengan seseorang yang berani mengambil resiko untuk mencintaiku. Entah cinta atau bukan, aku akui, aku bahagia dan nyaman dengannya. Keputusanku, bukan pilihan mudah. Namun aku tidak mau membodohi diri sendiri lebih lama lagi. Kau tidak berani mencintaiku. Itu saja.
***
Lebih baik mencintai atau dicintai?
Memang, lebih penting mana bagi seekor burung untuk terbang tinggi: sayap kanan atau sayap kiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Lust
Short StoryBuku ini dibuat untuk bersenang-senang. Bacalah buku ini dengan hati senang. Catatan: aku bukan manusia rajin yang aktif berkarya. Catatan (2): kuusahakan untuk mengumpulkan apa yang pernah kutulis sebelumnya. Catatan (3): akan diusahakan menambahka...