05. Schedar

2.5K 363 64
                                    

Ada satu hal yang tak pernah aku mengerti sejak dulu, mengapa seseorang tidak pernah pilih-pilih waktu untuk melakukan hal-hal buruk? Setidaknya, kalau mau menodai kehidupan orang lain dengan kenangan buruk yang menyakitkan, pilihlah waktu yang tepat. Jangan di hari-hari istimewa seperti hari ulang tahun atau perayaan kelulusan sekolah, misalnya. Menggurat luka di hari istimewa tentu lebih membekas dalam ingatan, dan yang lebih buruknya lagi, aku tidak pernah bisa seberapa besarpun aku berusaha untuk melupakan.

Saat umur delapan tahun, tepat di hari ulang tahunku, ibu dan ayah bertengkar hebat untuk kesekian kalinya. Membuatku ketakutan dan bersembunyi di dalam kamar. Menangis keras-keras semalaman dan melupakan harapan mendapat perayaan kecil dari ayah dan ibu, atau diberi kado lucu yang telah mereka siapkan jauh-jauh hari. Tidak ada ucapan selamat ulang tahun, tidak ada pelukan hangat, juga tidak ada pancake sirup maple yang biasa disajikan ibuku saat malam hari. Hanya ada suara pukulan dan gebrakan meja. Teriakan ayah yang menggema, jeritan ketakutan ibu yang juga menangis sepertiku, dan suara pecahan kaca serta pintu yang dibanting keras saat ayah pergi dari rumah. Dan hari itu, menjadi hari terakhir kalinya aku melihat ayah.

Saat hari kelulusan sekolah menengah pertama, ibuku memberi tahu bahwa ayah dan ibu resmi bercerai. Itupun, dengan ayah yang tidak pernah menghadiri sidang di pengadilan. Pergi entah kemana dengan wanita barunya, dan membuat ibu harus menghabiskan seluruh uang tabungannya untuk membayar hutang-hutang ayah. Bekas berjudi, mungkin ya? Entahlah, waktu itu aku belum bisa berpikir sejauh itu.

Sejak saat itu, sejak kami kehilangan hampir seluruh uang yang kami punya, semuanya menjadi penuh kesulitan bahkan untuk makan hari esok sekalipun. Ibu menjadi lebih sensitif dan pemarah, temperamennya menjadi kasar, bahkan ibu juga sering memarahiku saat aku melakukan kesalahan kecil seperti memecahkan piring. Kalau aku sedang sial, ibu bisa saja memukuliku hingga aku memohon ampun dengan suara parauku yang masih tersisa.

Apa aku pernah melawan? Tidak, tentu saja. Aku tidak ingin menyakiti ibu. Aku tidak ingin menjadi lelaki brengsek seperti ayah yang begitu mudah memukuli seorang wanita. Apalagi, setelah aku mendapati ibu menangis sendirian hampir setiap malam. Menyumpahi hidupnya yang begitu sial, juga menyumpahi Tuhan yang katanya tidak pernah memberinya kebahagiaan. Oh, sakit sekali rasanya. Jadi, hanya mendengarku mendapatkan peringkat terbaik di sekolah tidak cukup untuk membuat ibu bahagia, ya? Melihatku bekerja paruh waktu hingga larut malam hanya untuk membelikan ibu barang-barang yang bagus, itu juga tidak pernah membuat ibu bahagia, ya?

"Jungkook, jangan selalu menyusahkan ibu. Kenapa sih, kau merepotkan sekali?"

"Kau anak yang tidak berguna. Bantu ibu bekerja, Jungkook, bukan malah bermalas-malasan begitu!"

"Kau hanya bisa menghabiskan uang saja. Tidak berguna. Menyusahkan. Kau tahu hidup ibu sudah susah, jangan ditambah lagi dengan kebodohanmu."

Aku tahu, seberapa keras pun aku berusaha untuk bisa menjadi anak yang baik dan mandiri, ibuku akan selalu menganggapku sebagai beban. Merepotkan, menyusahkan, dan pembawa ketidakberuntungan. Ya, aku mengerti, mungkin ibu lelah dengan hidup kami yang begitu sulit. Tapi, melampiaskan segalanya kepadaku juga bukan hal yang bisa dianggap benar, kan?

Oh, ada satu lagi. Hari kelulusan sekolah menengah atas juga meninggalkan memori buruk dalam ingatanku. Selain karena fakta bahwa aku tidak akan pernah bisa melanjutkan studi seperti anak-anak lainnya, malam harinya aku mendapati ibu pulang dalam kondisi mabuk bersama seorang lelaki. Catat. Larut malam, mabuk, bersama seorang lelaki. Ibu tidak memperkenalkannya kepadaku, namun mereka berdua jelas tahu bahwa aku memperhatikan bagaimana mereka bercumbu di ruang tengah rumahku.

Kalau saja ia adalah pria kaya paruh baya yang berpenampilan pantas dan memiliki wajah tampan, mungkin aku tidak akan keberatan melihatnya datang bersama ibuku. Tapi, ia sama sekali tidak terlihat seperti pria baik-baik. Kaya, memang. Terlihat dari Rover segelap jelaga yang kini terparkir di depan rumah dan pakaiannya yang perlente. Tapi tidak tampan. Lihat, wajahnya saja mirip seperti gigolo atau pengguna jasa prostitusi dibandingkan dengan pengusaha besar. Dan juga, pria baik-baik jelas tidak akan membawa pulang wanita dalam keadaan mabuk, bukan?

Malam itu, aku memilih untuk membanting pintu kamar dan mendekam di bawah selimut diantara gelap malam tanpa cahaya lampu saat ibu mengajak lelaki bajingan itu ke kamarnya. Ya, anak delapan belas tahun jelas mengerti apa yang akan dilakukan orang dewasa di dalam kamar setelah bercumbu. Maka dari itu, aku memilih terlelap sendirian dan berpura-pura tidak mengetahui apapun. Mengurungkan niat bahwa tadinya aku ingin menunjukkan nilai raporku, untuk sekedar memberitahu ibu bahwa aku menjadi lulusan terbaik di sekolah. Karena sepertinya, hal-hal menyenangkan tentangku kini tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang penting untuknya. Ibuku lebih memilih bersenang-senang dengan bajingan lapuk itu dibanding melihat nilai raporku yang sama sekali tidak akan menghasilkan uang.

Satu hal yang kuingat malam itu adalah, aku tidak menangis. Iya, aku tidak lagi menangis seperti Jungkook kecil yang cengeng dan rapuh. Aku mulai belajar untuk tidak menjadi seseorang yang lemah, dan memutuskan untuk mulai mencari kesenanganku sendiri. Hingga esok harinya, bumi sedang berbaik hati karena tanpa sengaja mempertemukanku dengan sosok itu.

"Uh, mㅡmaaf, aduhㅡ maafkan aku. Aku tidak sengaja. Astaga, kopiku pasti masih panas. Maafkan aku,"

Sejak pertama kalinya, yang ia tawarkan adalah segurat lengkung manis yang tercetak mempesona.

"Tidak apa-apa kok, ini hanya kotor sedikit. Tidak masalah,"

Dengan kilat kelam maniknya yang membidik, juga kelopak matanya yang menyipit segaris saat ia menarik senyum.

"Tapi, mantelmu jadi kotor. Ah iya, ini, kau bisa pakai sapu tanganku untuk membersihkannya. Uhmㅡ"

Lalu, tatap teduhnya yang menyenangkan.

"Park Jimin. Terimakasih, kupinjam dulu sapu tanganmu ya."

Hangat. Dan ini pertama kalinya aku menaruh hati.

Kukira, kisah hari itu adalah bagian dari seni yang Tuhan berikan setelah sekian lama. Karena ia menggurat merah untuk menggantikan hitam. Seperti seberkas senja di ujung langit sore itu, yang mengintip hanya demi merindu. []








[Author Note]

1. Ini flashbacknya Jungkook, tentunya jauh sebelum ketemu Taehyung ya disini.

2. Nahloh, kok Jungkooknya suka sama Jimin? Iya, gitu. Jadi memang, sebelum ketemu Taehyung, Jungkook pernah menaruh hati sama Jimin sejak pertama kali ketemu. Tapi nanti ada alasan kenapa akhirnya Jungkook menyimpulkan kalau dia 'tidak pernah jatuh cinta, juga tidak ingin mengerti.' Something happens, and it took him to the worse phase of his life.

Hallo, aku rindu update book ini! ❤

CLICHÉ ㅡ VKOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang