Pertemuan kedua dengan Jimin berlangsung di penghujung minggu kedua bulan Maret, tepat satu minggu setelah pertemuan pertama kami yang tidak disengaja malam itu. Masih di tempat yang sama, minimarket penghujung jalan yang kebetulan bersebrangan langsung dengan kedai kopi kecil tempat kerjaku saat itu.
Malam itu hujanㅡdan sialnya, aku terjebak hampir dua jam lamanya. Menunggu dengan tubuh yang nyaris membeku di depan minimarket, tidak membawa mantel dan tidak berpakaian tebal. Yah, begitulah. Semesta memang tidak pernah berkehendak baik kepadaku. Selalu saja menyebalkan dan mengirimi kesialan tak berujung.
"Kalau tidak membawa mantel, sebaiknya pakai sweater saja. Kau tidak ingin mati kedinginan, kan?"
Oh, itu Jimin. Lengkap dengan seulas senyum tipis saat ia berdiri bersisian denganku. Tangannya menggenggam dua gelas cokelat panas yang asapnya masih mengepul melawan udara dingin. Detik selanjutnya saat aku membalas senyum, dia mengulurkan salah satunya.
"Untukku?"
Jimin mengangguk, kemudian menyahut ramah, "Agar kau tidak kedinginan."
Oh, ternyata masih ada orang baik di dunia ini.
"Terimakasih," aku menerima gelas cokelatnya, lalu ia mengangguk. "Omong-omong, apa yang sedang kau lakukan disini, Jimin?"
"Menunggumu pulang, mungkin?"
"Ck. Serius, maksudkuㅡkenapa kau bisa ada di sini sekarang?"
Dengan kedua sudut bibir yang terangkat lugas, Jimin mengedikkan bahu. Terkekeh pelan sebelum menyahut sekenanya, "Takdir, Jeon. Mungkin semesta ingin kita bertemu kembali."
"Apa-apaan, takdir itu tidak ada. Omong kosong." Aku mengakhiri kalimatku sendiri dengan sebuah senyum skeptis, lalu Jimin mengerling malas sambil ikut terkekeh.
Manis.
Lengkung gurat senyumnya terasa hangat diantara dingin angin malam yang kejam menusuk kulit. Dan kalau aku tidak salah mengira, degup jantungku sepertinya sedang berada dalam intensitas yang tidak normal. Anomali macam apa ini?
"Tapiㅡserius, kau tidak percaya takdir?"
Giliranku mengedikkan bahu, kemudian mengalihkan tatap ke arah jalanan basah di depan tempat kami berdiri.
"Aku tidak pernah mempercayai hal-hal yang fana, Jimin. Takdir, cinta, dan kepercayaan itu sendiri. Karena cara kerja semesta tak pernah berkaitan dengan semua itu. Semesta itu nyata, tidak ada alasan baginya untuk bermain-main dengan hal bodoh semacam itu."
"Tapi semesta senang mempermainkan waktu, Jungkook. Dia juga bukan hal yang nyata, tidak juga mutlak. Waktu itu relatif, kalau kata Einstein. Pertemuan, perpisahan, cinta, bahkan takdir sekalipun, itu hanya permainan waktu, bukan?"
Gemericik hujan yang mulai mereda kini mengisi ruang kosong diantara hening yang menyuara. Samar diterpa sayup angin malam yang berhembus tanpa tujuan. Tidak ada yang berniat untuk melanjutkan konversasi aneh tadi sebelum Jimin berujar lagi.
"Kalau kau tidak mau mempercayai mereka sekarang, tidak apa-apa. Tapi aku yakin, suatu hari nanti kau bisa percaya. Tentang bagaimana semesta mempermainkan takdir dalam setiap denting waktu yang berlalu, bagaimana cinta bisa membuatmu ingin bertahan hidup, atau bagaimana sebuah kata percaya bisa menuntunmu untuk bertemu takdirmu sendiri. Semuanya hanya tentang permainan waktu, Jungkook. Jadi, sambil menunggu waktu itu tiba, bolehkah aku menunggu dan melangkah bersamamu?"
Aku mengerjap. Sekali. Dua kali. Seperti orang bodoh dengan segala kebingungannya. Ingin rasanya menyuarakan berbagai pertanyaan tentang kenapa dan bagaimana bisa, namun nalarnya bahkan berhenti bekerja untuk sesaat. Tidak ada jawaban mutlak atas penyataan itu, juga tidak ada kalimat tanya yang pada akhirnya berhasil teruntai lewat suara. Hanya terpaku di kerongkongan, bersama dengan anggukan separuh refleks yang tanpa disadari kujadikan jawaban untuk Jimin yang masih menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLICHÉ ㅡ VKOOK
FanfictionMaka, apa lagi yang bisa kau lakukan jika semestamu telah pergi? BxB fanfiction. TAEKOOK. Top!Tae with Bottom!Kook. 🔞 for Mature Content (contain explicit sex scene and harsh words), Drugs, Mental Illness, and Self-Harm. [On Going] Start : 10/10/20...