2. Centaurus

7.5K 894 112
                                    

Jungkook itu, penuh implikasi.

Bukan ambigu, ia hanya terlihat lebih menarik dari benda-benda cantik lainnya. Pesonanya penuh friksi, dan tak jarang membuatku bingung saat aku berusaha memahami. Jungkook tidak bisa mendefinisikan rasa, juga tidak bisa menyelami hatinya sendiri. Jungkook tidak mengerti, dan tidak juga berusaha untuk mengerti. Seakan terjebak dalam gamang yang abu-abu, dan semuanya seolah terlihat sama di mata Jungkook. Sakit, bahagia, atau terluka, semuanya sama.

Jungkook tidak pernah merasa bahagia, namun juga tidak mengerti mengapa ia bisa merasa sedih. Jauh di dalam sana, hatinya begitu dingin. Tidak bisa lagi merasa hangat, tapi juga tak ingin mati dalam dinginnya yang menyiksa. Memilih terombang-ambing dalam semu, terjebak dalam kelam, dan menyimpan segala sakitnya dalam bisu. Sejauh yang kutahu, Jungkook memang sesakit itu. Ada luka yang tersimpan jauh di dalam hatinya, namun ia tak pernah membiarkan siapapun untuk menyembuhkannya. Mencoba tangguh dan menutupi segalanya dari dunia, membuat pribadinya sebegitu palsu seperti boneka.

Jungkook itu menarik, implisit. Namun ia menyukai sesuatu yang mutlak. Ia menginginkan segala hal yang absolut, sementara ia sendiri adalah wujud nyata dari segala bentuk ketidakpastian, dan itulah yang membuatnya terlihat cantik. Jungkook tidak mudah ditebak, pun juga sulit untuk dibaca seperti buku tanpa bahasa. Ada kalanya senyum manisnya justru terlihat menyakitkan, namun ada kalanya diamnya Jungkook menjadikannya terlihat lebih menarik. Ya, Jungkook memang semembingungkan itu. Palsu, tetapi cantik. Dan bodohnya, aku mencintai segala kepalsuan itu.

Seringkali aku menemukan dia melamun sendirian di balkon kamar saat aku pulang kerja, juga terkadang menangis tengah malam saat aku terlelap. Aku tidak mengerti kenapa, namun Jungkook selalu berkata bahwa ia baik-baik saja setiap kali aku bertanya. Entah memang benar ia baik-baik saja, atau mungkin dia sendiri pun tidak mengerti kenapa. Layaknya seekor kupu-kupu cantik yang kehilangan sayapnya, seperti itu pula Jungkook kehilangan entitas diri. Seperti warna hitam yang menggores kelam, begitulah Jungkook kehilangan arah untuk melangkah.

Suatu malam saat kali pertama kami melakukannya, Jungkook menangis sepanjang malam sembari meringkuk ringkih setelahnya. Aku tidak mengerti kenapa, padahal sebelum kutinggal membersihkan diri, dia baik-baik saja. Bahkan tersenyum tipis dalam ciuman kami untuk yang kesekian kalinya di malam itu.

"Jungkook, sayangㅡ kenapa?" Aku merengkuhnya erat dan menciumi tengkuknya yang tersengguk dalam bisu, "Hei, aku disini. Kenapa? Apa aku menyakitimu, Jungkook?"

Kudapati dia menggeleng pelan, isaknya masih terdengar begitu tipis diantara sisa nafasnya yang tercekat di pangkal tenggorokan. Terlihat begitu putus asa, namun ia hanya membisu. Bahkan tak ingin sekedar menatap, kedua kelopaknya mengatup rapat diantara jejas basah di pelupuknya.

Aku tidak mengatakan apapun lagi malam itu, hanya memeluknya erat hingga mentari mencium sang rembulan saat fajar. Entah kapan Jungkook berhenti menangis malam itu, namun esok harinya dia kembali tersenyum meskipun matanya sembab begitu kentara. Membuatkanku kopi seperti biasa, juga tak menolak saat aku memeluknya sebelum berangkat kerja.

           
Jungkook, Jungkook.

           
Sebenarnya, apa yang kau rasakan di dalam hatimu yang dingin itu?

               
Beberapa hari berikutnya, Jungkook marah karena malam sebelumnya aku tidak pulang. Dengan bodoh membuatnya menunggu sendirian hingga larut malam tanpa mengabarinya, membiarkannya kedinginan karena terlelap di atas sofa tanpa selimut, lalu bangun pagi tanpa keberadaanku lagi.

Kali ini ia tidak menangis, hanya saja, Jungkook benar-benar mengabaikanku saat aku pulang. Jungkook hanya berdiam diri di balkon kamar tanpa mengacuhkan entitasku disana, bahkan saat tubuh ringkihnya kupeluk dalam diam.

"Jungkook, maaf."

"Hei, boneka?"

"Jungkook, cantikku,"

Dan dia benar-benar mengabaikanku.

"Sekretaris ayahku,"

Aku menyandarkan kepalaku di salah satu sisi bahunya, "Aku bersama sekretaris ayahku semalam. Di Lancaster,"

Jungkook begitu palsu, tidak sedikitpun bergeming bahkan untuk balas menatap. Hanya diam dan membisu dengan tatap mata yang kosong dan senyum manisnya yang memudar. Kembali dingin, juga begitu angkuh tak terjamah.

"Mau mendengar cerita yang menarik, Jungkook?" Aku terkekeh pelan, kemudian menyamankan pelukan. "Dia selingkuhan ayahku. Aku sengaja menidurinya agar ayah marah, setidaknya, agar dia mengetahui bagaimana rasanya dikhianati oleh keluarganya sendiri, seperti yang pernah ibuku rasakan."

"Kau tahu? Padahal wanita jalang itu sangat payah dalam urusan ranjang. Dia juga tidak cantik, ibuku tentu jauh lebih cantik. Aku jadi penasaran, apa yang ayah nikmati darinya ya?"

Aku terdiam beberapa saat, hanya bersandar di ceruk leher Jungkook dan menghirup aromanya lamat-lamat. Wangi vanilla milik Jungkook, yang menjejas rasa manis setiap kali aku merindukannya. Hingga kurasakan rengkuhnya mengalung di sekeliling bahu saat Jungkook mengubah posisinya menjadi saling berhadapan. Mencium lembut di puncak kepala sembari menyisir suraiku yang teracak angin pagi, kemudian menangkup wajahku agar aku menatapnya.

Dan disana, aku kembali menemukannya. Semestaku, masih sama indahnya setiap kali aku menatap sepasang manik kelamnya.

"Jungkook, jangan marah lagi,"

Senyum manisnya mengembang begitu tipis, namun kali ini tidak palsu. Setidaknya, ini yang paling tulus dari semua senyumnya yang palsu. Terasa menyentuh hati, seolah memeluk raga. Juga, tersimpan luka yang tak terjamah jauh di dalamnya.

"Maaf karena aku tidak mengerti tentang lukamu, Taehyung."

Aku menggeleng pelan, "Ini bukan salahmu, jangan meminta maaf karena itu."

Lalu pagi itu, dia menciumku lebih dulu. Menambatkan bibirnya dengan teramat lembut, menguarkan gelinyar hangat sepanjang nadi, dan menjejas manis dalam pekat yang menyacah lidah.

Hari itu, semua lukaku seakan berpendar dalam kelam semestanya. Perlahan menghilang bersama angkara yang memudar, tergantikan bahagia yang semu dalam getir sendu yang meredam. Kami berbagi luka yang sama, berusaha saling menyembuhkan meski Jungkook tak pernah mengerti bagaimana caranya. Meski Jungkook tak pernah tahu bahwa merasa dicintai adalah magis yang menambat jiwa. Ia tidak mengerti bagaimana cinta bekerja semagis itu, pun juga, tidak pernah berusaha untuk mengerti.

Satu hal yang kuyakini adalah, bahwa ciuman kami bagai puisi. Indah, dan penuh implikasi. Terikat dalam friksi, namun begitu bebas menyentuh sanubari. Tentang betapa sempurnanya Jungkook yang menjadi senandika pelipur lara, tentang betapa indah semestanya memeluk raga, dan betapa merindunya aku untuk mendamba. []

CLICHÉ ㅡ VKOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang