CHAPTER 15

127 7 0
                                    

Iris POV

Setelah selesai Ecca menawarkan untuk  singgah kerumahnya yang tidak begitu jauh dari rumah bang Joko. Namun aku segan untuk menolak. Padahal setelah dari rumah bang Joko-aku dan Farel ingin ke McD. Lebih tepatnya aku yang sudah tidak sabar untuk mencicipi ice cream.

Aku dan Farel diam sebentar dipinggir jalan sambil menimbang-nimbang ajakan Ecca. Mungkin sekalian menuntaskan makalah yang sisa sedikit lagi itu.

Ini benar-benar seperti tidak kelompok. Yang bekerja keras hanyalah aku. Begitu juga dengan Ecca dan Farel. Kami bertiga adalah makhluk yang di tompangin parasit alias anak anak kelas lainnya.

Akhirnya aku dan Farel memutuskan untuk ke rumah Ecca. Disana Ecca menyuguhi kami dengan makanan. Farel langsung mengangguk ria saat Ecca menawarkan mie rebus padanya.  Aku terkekeh menggelengkan kepala.

Aku tidak begitu suka mie. Maka dari itu aku menolak tawaran Ecca. Namun Ecca tidak kehabisan akal, ia menggoreng otak-otak dan langsung aku santap seorang diri tanpa sadar.

Bodoh amat Farel mau anggap aku adalah cewek rakus. Dia juga menghabiskan mie seorang diri.

Ecca sibuk dengan makalahnya. Farel pun fokus dengan program kelompoknya. Aku mencubit kaki Farel yang ia luruskan disebelah ku.

Sesekali aku mencuri pandang pada Ecca, takut Ecca curiga. Hanya itu yang selalu aku waspadai mengingat Farel memang berusaha keras menutupi kedekatan kami.

Aku pernah bertanya Farel, ketika aku jalan bersamanya. Apakah dia malu jalan dengan ku sehingga menutupi semuanya? Jawabannya tetap sama, Farel tidak ingin banyak mulut-mulut sampah yang mengusik kenyamanan kami.

Sesekali Farel membantu ku menscreenshoot hasil pemograman dan meletakkannya di dalam word makalah laptop ku.

" Mau liat gak pemograman punya kelompok gue?" tanya Farel yang entah di tujukan kepada siapa. Namun aku dan Ecca  langsung antusias melihatnya.

Farel menyisipkan animasi bergerak di dalam pemogramannya. Aku tersenyum bangga pada Farel meski setelah menunjukkannya,Farel kembali menyombongkan dirinya.

"Siapa dulu dong? Gue gitu loh," ujar Farel membuat ku jengah melihatnya.

Namun tanpa Farel menyombongkan diri, mata ku pun tidak buta melihat kepintaran nya di bagian IT.

Jelas, Farel bekerja sebagai programmer muda di usianya yang baru mau beranjak 20 tahun.
Indonesia adalah negara yang minim jasa programmer.

"Ih gue pengen buat kaya gini Rel," seru Ecca.

"Udahlah Ca, buat apa sih. Nanti kamu makin puyeng, percaya diri aja. Nilai A+ di tangan mu hahah," ujar ku.

"Iya juga sih."

"Bener kata Iris Ca, nanti malah makin ribet," sambung Farel.

Ecca-menurutku dia adalah anak yang pekerja keras. Anak yang tidak tenang jika ada tugas. Pintar sudah pasti ada dalam dirinya.
Tangan kanan dosen bahasa Inggris dan selalu jadi moderator setiap presentasi kelompok bahasa Inggris. Hanya saja, menurut ku Ecca kadang kadang tidak begitu percaya diri.

Itulah yang membuat ku penasaran dengan jati diri Ecca. Mengingat aku adalah anak yang dengan tingkat percaya diri tinggi-ingin membaginya pada Ecca. Sayang jika ada anak pintar tapi tertutupi dengan intervrovetnya.

Bukan berarti Ecca anti sosial namun menurut pandangan mata ku, Ecca sedikit hmm tertutup mungkin.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku dan Farel bermain kode untuk beranjak pulang. Mengingat mesh Farel jauh dari tempat ku dan tidak searah juga.

"Ecca makasih ya. Kita balik dulu," ucap ku.

"Tau kan jalan pulang Rel?" tanya Ecca.

"Enggak Ca," jawab Farel dengan seribu kepolosannya.

"Dari sini lurus-nanti ada perapatan-belok kiri-lurus ada perapatan rel kereta, nanti lurus lagi ketemu jalan raya," jelas Ecca. Aku tidak mendengarkannya, sibuk memasang helm.

Setelah itu kami meninggalkan rumah Ecca.

"Habis ini kemana ya?" tanya Farel.

"Lah, kamu gak nyimak Ecca ngomong apa?" tanya ku.

"Hahaha enggak. Aku cuman angguk-angguk aja," kekeh Farel.

Fiks. Farel adalah sejoli yang sangat menghargai orang. Dia tetap serius mendengarkan arahan Ecca namun tidak satupun kata yang nempel di otak jenius nya itu.

"Sellow sellow, percaya sama gue," kata Farel.

Tangan ku masih tetap bertaut di tangannya. Sesekali aku menempelkan kepala ku di punggung Farel. Ini adalah posisi yang sering aku lakukan kala jalan dengan Farel.

"Masih mau ice cream?" tawar Farel.

Akupun menolak. Jam sudah menunjukkan  pukul dua belas malam. Belum lagi rumah Farel yang jauh dan tak searah dengan kost ku.

Jangan lupa vote ♥️

CINTA SATU SEMESTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang