"Hai."Laki-laki itu mendongakkan kepalanya, sedikit terkejut ketika menemukan sosok Elka sedang berjalan ke arahnya sambil menenteng wedges hitam dengan mimik muka yang sulit dijelaskan.
Dikta mengamati Elka dari ujung kaki sampai puncak kepala. Lalu mengulas senyum tipis, menepuk ruang kosong disebelahnya, mempersilahkan perempuan itu duduk.
"Dosa nggak sih bilang kangen ke pacar orang?" Dari arah samping, Elka mendengar laki-laki itu terkekeh.
"Lo kenapa nggak mau ikut nyokap lo ketemu sama bokap gue? Disana makanan banyak, enak-enak lagi."
Dikta menoleh. "Kenapa lo sendiri malah kesini? Kenapa nggak stay disana sampe acaranya kelar?"
Elka menggelengkan kepalanya. "Gue pengen nangis. Tapi rasanya gue udah nggak ada tenaga lagi buat nangis."
Dikta meletakan pensilnya, tangannya terulur ke arah anak rambut Elka yang terbang menutupi mata kiri gadis itu. Elka sedikit berjengkit, kaget dengan pergerakan tiba-tiba dari laki-laki disampingnya.
Gantian Elka yang menolehkan kepalanya, menatap lekat netra hitam milik Dikta. "Sejak kapan? Sejak kapan lo tahu semua ini?"
Dikta menempelkan punggungnya ke sandaran kursi taman sambil menyapu rambutnya ke belakang. "Sejak malam pergantian tahun."
Elka menatap Dikta tajam sambil mendesah kecewa. "Kenapa nggak langsung bilang ke gue?"
"Posisi gue juga serba salah, El." Dikta menghela nafas panjang. "Setelah kepergian bokap gue dari rumah sepuluh tahun yang lalu, ibu gue depresi. Dia mengonsumsi banyak obat-obatan buat nenangin dirinya. Gue nggak bisa nyegah atau lakuin banyak hal, karena gue juga sadar kalau dia nggak minum obat, kondisi dia bakal lebih parah. Dia bakal nangis satu malam penuh, lebih parahnya lagi dia bisa mecahin semua barang di rumah lalu dengan santainya dia bakal jalan diatas pecahan beling itu sambil ketawa-ketawa."
"Dan puncak terparahnya yaitu saat gue ngikutin farewell party di sekolah dan mengharuskan gue buat nginep disana." Dikta memejamkan matanya, menarik nafas dalam lalu membuka matanya kembali. "Ibu ditemuin overdosis di kamarnya sama asisten rumah tangga yang mau pamitan balik. Gue nggak pernah iri sama temen-temen gue yang selalu diambilin raport sama orang tuanya. Gue nggak pernah ngeluh karena ibu selalu absen saat ada pertemuan wali murid di sekolah. Dan gue juga nggak pernah memaksakan agar dia bersosialisasi kayak orang tua pada umumnya. Karena gue paham dan amat mengerti gimana keadaan ibu gue. Tapi kejadian dua tahun lalu seakan menyiratkan ketidakbecusan gue sebagai anak dalam menjaga ibu. Gue kecolongan, gue lalai, gue ngerasa kayak apa ya... nggak guna. Cuman gue yang dia punya, tapi gue malah asyik-asyikan sok datengin acara perpisahan, seneng-seneng sama temen gue."
Dikta menatap langit malam dengan pandangan kosong. "Untungnya waktu itu Bude Rima langsung bawa ibu ke rumah sakit. Kalau enggak mungkin gue nggak bakal sewaras ini. Dan sejak selamatnya ibu dari kejadian itu, kondisinya sedikit membaik. Dan berangsur pulih, tapi terkadang di tengah malam dia masih suka nangis tapi nggak separah dulu. Mulai dari situ, gue berkomitmen sama diri gue sendiri. Segalanya tentang ibu adalah prioritas gue. Termasuk kebahagiaannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
SKETCH
Teen Fiction"Oh ini cewek yang tadi pagi masuk parit gara-gara ikut tawuran anak smk seberang?" -Aldikta S.P "Sepatu gue yang atu ilang kemana nih?" -Aelka S.R "Let's create an amazing sketch with me and we will produce a fantastic illustration at the ending la...