06

6 2 0
                                    

🍂🍂🍂

“Cie … Luthfi … yang kemarin jalan bareng doi. Cie ….”
Maya datang-datang langsung menggodaku. Doi? Makanan jenis apa itu?

“Apaan, sih, May? Gaje banget.”

“Gue kemarin lihat elo. Hayo! Kali ini lo nggak bisa ngelak.”

“Maksud lo? Sumpah, gue gagal paham.”

“Gue kemarin lihat lo jalan bareng cowok ganteng yang pengin ketemu lo tempo hari di gerbang.”

Aku langsung mengernyitkan dahi. “Serius lo?”

“Gue pengin banget ngeciduk kalian, tapi bokap gue keburu ngajakin gue pulang, sih … jadi gagal, deh ….”

“Dia cuman temen gue, nggak lebih.”

Jangan sampai hal itu menjadi bahan gossip di sekolah ini. Kalau fakta, tidak masalah. Tapi, aku, ‘kan, memang tidak ada hubungan spesial dengan Rayyan. Jadi, aku tidak akan terima jika ada yang menggosipkanku.

“Eits … sekarang emang temen, tapi nggak tahu kalau besok atau lusa, ‘kan?”

“Terserah lo saja.”

Aku memutuskan untuk diam. Jika aku bicara atau bercerita banyak tentang Rayyan, cewek itu mungkin akan semakin heboh. Dia juga tukang gosip omong-omong. Aku lalu melangkah pergi, keluar dari ruang kelas.

“Eh, lo mau ke mana, Luth?!” Maya meneriakiku.

“Ke Hongkong!” sahutku asal.

~dear you~

Tek-tek-tek

Bunyi ketikan yang berasal dari jari-jemariku yang bergesekan dengan layar ponsel sangat jelas terdengar di telingaku. Ya, aku sedang mengetikkan pesan ke beberapa temanku. Sore nanti, kami akan mengerjakan tugas kelompok di rumahku. Aku ingin mereka semua datang, tanpa terkecuali. Kalau tidak, maka hanya aka nada namaku yang tertera di sampul tugas tersebut.
Seperti biasa, membuat makalah. Kali ini tentang “Dampak Sosial Media bagi Kehidupan Masyarakat”.

“Nggak naik, Neng?”

“A-ah!” Aku sontak saja terkejut saat mendengar teguran dari abang-abang sopir angkot. “Naik, Bang!” ujarku, lalu segera masuk ke angkot berwarna merah tersebut.

“Baru pulang sekolah, Dek?” Seorang wanita paruh baya bertanya padaku. Di pangkuannya terdapat sayur-mayur. Spertinya ia baru pulang dari pasar.

“Iya, Bu,” jawabku. Aku lalu terdiam. Menatap pemandangan di luar jendela sepertinya lebih mengasyikkan daripada menatap seorang bapak yang duduk tepat di depanku. Aku bukanlah seorang cewek yang banyak bicara. Aku lebih suka diam. Dan, aku baru mengeluarkan suara apabila ada yang menegurku –jika yang menegurku itu adalah orang yang tidak kukenal.

Perjalanan kali ini sepertinya tidak akan membutuhkan waktu yang lama, sebab tidak ada tanda-tanda jalanan akan macet. Syukurlah kalau begitu. Jadi, aku tidak akan merasa pengap berlama-lama di dalam angkot.

“Rayyan?” Aku menggumamkan nama Rayyan begitu iris mataku tak sengaja melihat Rayyan yang tengah duduk di halte. Apa yang dia lakukan di sana?

Cowok itu tidak mengenakan seragam sekolah. Apa dia sudah pulang dari sekolahnya? Mungkin saja.

“Bang! Stop, Bang!” Aku memutuskan untuk berhenti di sini, di jalan yang bahkan akan membutuhkan waktu beberapa menit mengendarai motor untuk sampai ke rumahku.

Setelah membayar angkot, aku pun turun dari kendaraan beroda empat tersebut. Kulihat arah kiriku, di halte sana masih ada Rayyan. Tanpa banyak pikir lagi, aku segera berlari di bahu jalan, menghampiri Rayyan. Jangan tanya kenapa aku melakukan ini. Sebab, aku pun tak tahu. Aku hanya mengikuti apa kata hatiku.

Dear YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang