05

6 2 0
                                    

🍂🍂🍂

Makan bersama keluarga di meja makan adalah salah satu hal yang aku hindari mulai saat ini. Malam ini, aku lebih memilih untuk makan malam di balkon lantai dua. Sendirian. Aku terlalu malas jika mendengar mereka membahas tentang Dinda lagi dan lagi.

Dinda ….

Dia adalah kakak kandungku. Kami hanya selisih dua tahun. Dan, dia sudah meninggal dunia setahun yang lalu. Aku tidak akan menceritakannya sekarang, bagaimana kronologis meninggalnya Dinda di usianya yang masih terbilang muda.

Baiklah, mari kita lupakan perihal Dinda. Tidak baik membicarakan orang yang sudah meninggal dunia, bukan?

Aku menatap pemandangan malam ini dalam diam. Langit tampak cerah, tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Banyak bintang yang bertaburan di atas sana. Namun, bulan rupanya enggan untuk menampakkan sinarnya. Tak ada bulan malam ini. Mungkin gumpalan awan itu sudah menutupinya.

Aku menghela napas panjang. Entahlah. Aku sebenarnya ingin menyibukkan diri dengan melakukan banyak hal. Namun, aku bingung. Hal apa kira-kira yang bisa membuatku tampak sibuk?

Aku sebenarnya sangat suka menggambar. Akan tetapi, dadaku terasa sesak setiap kali akan menggoreskan pensil ke atas kertas gambar. Kalimat-kalimat buruk itu selalu muncul. Aku tak menyukainya. Kenapa kalimat-kalimat itu harus keluar dari mulutnya?

Dinda lagi ….

“Lo tahu, sebenernya nyokap nggak pernah suka sama gambaran lo. Dia bilang bagus, ya agar lo nggak nangis.”

“Luth, bisa nggak sih, lo itu sekali aja nggak ngerepotin gue? Lo tahu, gue itu paling males kalau disuruh pergi beliin lo pensil warna. Kenapa sih, lo nggak beli sendiri aja?”

“Lo pengin jadi pelukis professional? Hh! Bangun woi! Emangnya lukisan lo bisa kayak Leonardo Da Vinci? Jelek kayak cakar ayam gitu.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tidak. Itu hanyalah segelintir kenangan buruk di masa lalu. Tak seharusnya aku mengingatnya kembali. Kalimat-kalimat itu keluar saat aku mulai memasuki bangku SMP. Masih sangat labil dan mudah tersinggung. Tak seharusnya aku menyimpannya di dalam hati hingga saat ini.

Dinda, kamu adalah saudara yang tak pernah bisa untuk kusayangi. Tapi, kenapa kamu yang selalu muncul di pikiranku?

~dear you~

Hari minggu mungkin akan menjadi hari yang menyenangkan bagi orang lain. Libur. Tak perlu mandi pagi-pagi, dan tak perlu pergi ke sekolah. Namun, aku tak seperti mereka.

Aku merasa bosan jika berada di rumah seharian pol. Dan, pasti akan ada si Paijo beserta pacarnya di rumah. Aku tidak suka. Bukan karena iri, bukan. Hanya saja … kalian tahu sendirilah bagaimana hubunganku dengan Paijo. Dan, Selena bukanlah seseorang yang kuharapkan menjadi kakak ipar.

“Mau ke mana, Luth?”

Pertanyaan dari Paijo menghentikan langkahku. “Jalan,” jawabku malas.

“Ke mana? Pasti ada tujuan, ‘kan?”

Aku berdecak kesal. Kenapa dia jadi kepo, sih? Aku mana tahu mau ke mana. Belum ada tujuan. “Bukan urusan lo.”

Setelah mengatakan tiga kata itu, aku pun melangkah keluar dari rumah. Mengabaikan Paijo yang mungkin saja sekarang tengah bergumam tak jelas, atau bahkan mengumpat.

~dear you~

Tidak ada tujuan pasti, di mana kedua kaki ini akan berhenti melangkah. Lihat saja nanti. Sebenarnya aku sangat menyukai keramaian. Tapi, jika sendiri di tempat ramai, aku tidak suka. Layaknya anak hilang. Jadi, kali ini aku memutuskan untuk tidak mengunjungi tempat yang ramai.

Dear YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang