09

2 1 0
                                    

🍂🍂🍂

"Kamu nggak masalah, kan, kalau aku ajak ke sini?"

Aku menggeleng. "Nggak masalah, kok. Lagian, aku tadi sudah SMS Mamaku."

Aku dan Rayyan kini berada di sebuah rumah sakit khusus kanker. Jika kalian penggemar drama Korea, kalian pasti pernah menonton drama Andante. Ya, rumah sakit ini tidak jauh beda dengan rumah sakit atau yang sering disebut hospice di drama tersebut.

Ah, kalian mungkin tahu Rumah Sakit Dharmais yang berlokasi di Jl. Letjen S.Parman Kav 84-86, Jakarta Barat. Seperti itulah rumah sakit ini. Di mana, pasien sudah tidak dapat disembuhkan lagi atau tidak bisa lagi dilakukan pengobatan.

Bukan tanpa alasan Rayyan mengajakku kemari. Cowok itu ingin memberikan hadiah kepada kenalannya yang sedang berulang tahun dan dirawat di rumah sakit ini.

Rayyan menyunggingkan senyum tipis. Lalu, dia merangkul bahuku. "Makasih, ya," tuturnya.

"Sama-sama," balasku. "Tapi, nggak masalah, kan, kalau aku nggak bawa apa-apa?"

"Hanya melihat ada orang yang mengunjunginya saja dia sudah sangat senang." Rayyan tersenyum miris.

Tak lama kemudian, kami pun tiba di depan sebuah kamar rawat. Berada di tempat ini seketika mengingatkanku akan kematian. Semua manusia yang ada di bumi ini pasti akan mati.

"Ini ruangan tempat temanku dirawat. Ayo, masuk." Rayyan memutar knop pintu perlahan. Tampaklah seorang cewek yang sedang duduk di atas ranjang sambil memeluk sebuah boneka beruang berwarna krem. "Jia!" panggil Rayyan. Kami lalu melangkah menghampiri cewek tersebut.

"Kak Rayyan!" sahut cewek yang bernama Jia itu antusias. Dia dan Rayyan lalu berpelukan.

"Selamat ulang tahun," ucap Rayyan. Dia melepaskan pelukannya, lalu memberikan hadiah yang dipegangnya sedari tadi kepada Jia.

"Wah, makasih, Kak." Cewek bermata sayu itu tersenyum lebar. Wajah pucatnya tak menjadi halangan untuk membuatnya terlihat bahagia.

"Oh, ya. Kenalin, ini Luthfi, teman Kakak." Rayyan memperkenalkan diriku kepada Jia.

Aku mengulurkan tanganku. "Hai, aku Luthfi."

Jia membalas uluran tanganku. "Hai juga. Aku Jia." Dia tersenyum.

~dear you~

Banyak pelajaran yang aku dapatkan setelah pertemuanku dengan Jia. Cewek bermata almond itu cukup tegar menghadapi cobaan yang tengah menimpanya. Saat di ruang rawat Jia tadi, aku tidak bertanya dan tidak ada yang mau membahas mengenai penyakit yang tengah diidap oleh Jia.

Aku dan Rayyan kini tengah duduk-duduk di taman rumah sakit. Masih enggan rasanya untuk pulang sekarang.

"Jia mengidap kanker darah, stadium akhir," ujar Rayyan. "Kedua orangtuanya sudah lama meninggal dunia."

Aku terenyuh. Tak tahu mesti berkata apa.

"Aku bertemu dengannya dua bulan yang lalu. Saat Mama pertama kali mengajakku ke rumah sakit ini. Mama dulu sering datang ke sini, sebagai sukarelawan." Rayyan lalu menghela napas. "Jia cantik, ya."

"A-ah, iya." Aku agak terkejut mendengarnya. "Ng ... kamu suka, ya, sama dia?" tanyaku.

Rayyan tersenyum kecil. "Ya, aku menyukainya."

"Ya?"

"Tapi nggak sebagai lawan jenis. Dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku menyukai bagaimana dia tersenyum di tengah kondisi kesehatannya yang semakin lama kian memburuk."

Dear YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang