🍂🍂🍂
"Spada! Yuhu! I'm coming! Eh, Luthfi!" Mona berjalan menghampiriku sembari berteriak heboh. Ini masih pagi, dan keributan sudah mulai terdengar di dalam ruang kelasku. Mona-lah pelakunya. "Lo tahu, nggak?"
"Enggak?"
"Ih, Luthfi ... gue belum selesai bicara tahu."
"Oh."
"Entar Andrew mau nraktir kita makan di kantin."
"Eh? Emangnya dia menang?"
"Ish, lo nggak baca SMS yang gue kirimin semalam, ya?"
Aku menggeleng. "Nggak ada SMS dari elo, tuh."
"Eh? Seriusan lo?"
"Serius. Pulsa lo habis mungkin."
"Ah, enggak. Gue kemarin SMS Maya masih bisa, tuh."
"Coba lo cek lagi, deh."
Mona pun menuruti perintahku. Cewek itu mengecek pulsa di ponselnya. "Lo bener, Luth. Pulsa gue habis."
"Tuh, kan."
Mona pun menyunggingkan bibir ke bawah. Cemberut. Seakan-akan cewek itu ingin menangis. "Padahal gue baru beli kemarin. Udah habis aja," tuturnya dengan nada yang dibuat-buat agar terdengar menyedihkan.
"Beli lagi sana. Yang banyak sekalian," perintahku. "Ngomong-ngomong, si Andrew dapat juara berapa, sih?" tanyaku kemudian. Karena setahuku, kalau cowok itu dapat juara, baru dia akan mentraktir kami. Itu yang diucapkan oleh Maya kemarin.
"Alhamdulillah masuk lima besar, Luth. Tepatnya, sih, juara harapan I. Lumayan, kan? Yes, entar dapat makanan gratis," jawab Mona.
"Oh." Aku hanya ber-oh ria. Sudah bisa ditebak kalau bakalan seperti itu. Sangat tidak mungkin dalam waktu yang menurutku lumayan mepet, sekolah kami bisa masuk tiga besar.
~dear you~
Jia tampak antusias melihat kedatanganku. Cewek itu tersenyum lebar menyambutku. Aku balas tersenyum, lalu memeluknya.
"Kakak datang sendirian?" tanya Jia setelah pelukan kami berakhir.
Aku mengangguk sebagai balasan.
"Kak Rayyan nggak ikut?"
"Enggak. Aku sengaja datang ke sini sendirian." Aku lalu menyerahkan paper bag yang berisi syal yang kubeli kemarin untuknya. "Oh, ya, ini kado ulang tahunmu. Maaf telat."
Jia tampak semringah. Dia menerima barang pemberianku tersebut dengan senang hati. "Makasih banyak, Kak. Aku suka."
"Sama-sama. Syukurlah kalau kamu suka." Aku kemudian mengernyit bingung saat melihat Jia yang tiba-tiba saja menampilkan wajah sedih. "K-kamu kenapa, Jia? Apa ... ada yang mengusik pikiranmu?" tanyaku cemas.
Jia menundukkan kepalanya sendu. Lalu, dia menghela napas pendek. "Aku bosen berada di sini, Kak. Aku ingin bebas seperti anak-anak seusiaku. Aku ingin liburan, jalan-jalan ke mal, main sama teman-teman seusiaku, mencoba pakaian yang lagi ngetren, selfie-selfie, dan apa pun itu yang biasa dilakukan oleh anak seusiaku."
Aku terenyuh. Lalu, kutepuk pundaknya pelan. Kurasakan tubuhnya yang bergetar.
"Aku sangat bosan berada di sini. Nggak bisa menikmati suasana luar dengan bebas, tiap hari harus menelan pahitnya obat, yang kupakai hanya pakaian rumah sakit, hiks. Kenapa Tuhan nggak cepat-cepat ngambil nyawaku aja, Kak? Kenapa?" Jia mulai terisak. Aku pun langsung memeluknya. Tak terasa air mataku pun ikut menetes. Aku ingin menghiburnya. Namun, tak bisa. Aku tak memiliki bakat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear You
Teen FictionIni hanyalah sedikit kisah tentangku. Tentangku yang dipertemukan dengan dia. Pertemuan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku. Aku tahu, ini mungkin kisah yang begitu klise. Namun, berkat pertemuanku dengannya, aku belajar banyak hal yang b...