🍂🍂🍂
Sepulang dari sekolah, aku memutuskan untuk tak langsung pulang ke rumah. Aku ingin pergi ke rumah Rayyan. Mimpi buruk yang sudah dua kali kualami itu membuatku tak tenang.
"Jadi lo nggak akan ikut kami, Luth?"
Aku menggeleng sebagai tanggapan dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Andrew tersebut. "Gue ada acara keluarga." Aku berbohong. Tidak mungkin jika aku mengatakan yang sejujurnya kepada Andrew bahwa aku akan pergi ke rumah Rayyan. Itu bisa menimbulkan gosip murahan.
"Yah ... padahal ini hari terakhir gue akan latihan. Gue pengin lo lihat perkembangan gue."
Aku mencoba tersenyum. "Sori banget, ya, Ndrew. Tapi, percayalah. Gue selalu dukung elo, kok," ucapku, mencoba menyemangatinya. Aku lalu menepuk punggungnya. "Semangat, Ndrew. Buat bangga kami semua, oke?"
Andrew mengangguk.
Aku lalu melangkah pergi dari ruang kelas. Menuju halte bus, dan menunggu bus yang lewat. Tak membutuhkan waktu yang lama ternyata untuk menunggu angkutan umum itu lewat. Angkutan yang akan membawaku menuju rumah Rayyan.
Aku bersyukur, meskipun aku baru satu kali pergi ke rumah Rayyan, aku tidak melupakan jalan menuju ke sana. Cukup mudah diingat, sebab letak rumahnya tidak jauh dari jalan raya.
Beberapa menit kemudian aku pun sampai di rumah Rayyan. Tak ada yang berubah dari rumahnya. Tetap megah seperti terakhir kali aku datang kemari.
"Assalamualaikum! Permisi!" seruku sembari menggedor-gedor pintu gerbang berwarna cokelat yang terbuat dari besi ini. Kenapa aku menggedor-gedornya? Sebab, kalau hanya diketuk-ketuk saja tidak akan membuat orang yang ada di dalam sana menyahut. "Assalamualaikum!"
Kriet
Akhirnya, pintu gerbangnya pun ada yang membuka. Seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam khas sekuriti muncul dari baliknya.
"Permisi, Pak. Rayyan-nya ada?" tanyaku langsung pada intinya. Tanpa memberikan kesempatan kepada beliau untuk bertanya duluan.
"Ah, Mas Rayyan-nya keluar, Mbak," jawab beliau yang membuatku sedikit kecewa.
"Ng... dari tadi, ya, Pak?" tanyaku, mulai kepo.
"Iya, Mbak. Sebentar lagi pasti pulang," jawab bapak itu.
Beberapa detik kemudian, tampak sebuah mobil sedan datang. Itu bukan Rayyan, sebab cowok itu tidak bisa mengendarai mobil.
Mobil itu berhenti di depan kami. Lalu, keluarlah seorang cewek yang dilihat dari raut wajahnya tampak lebih tua dariku. "Ng ... ada apa, ya, Pak? Kok pada ramai-ramai di sini?" tanyanya.
"Ini, Mbak Fany. Mbak ini nyariin Mas Rayyan," jawab pak satpam.
"Hah? Nyari Rayyan?" Cewek itu mengernyit heran.
"Ng ...." Aku mengulurkan tanganku di hadapan cewek berambut panjang bergelombang itu. "Saya Luthfi, temannya Rayyan." Aku memperkenalkan diri.
"Eh?" Cewek itu membalas uluran tanganku. "Aku Fany, sepupunya Rayyan."
Ah, ternyata dia sepupunya Rayyan. Syukurlah kalau begitu. Eh? Apa yang aku pikirkan, sih?
"Mari masuk." Cewek yang ternyata bernama Fany itu mengajakku masuk ke dalam. Tak lupa pula untuk membawa mobilnya masuk juga, dan memarkirkannya di carport.
"Kamu udah lama temenan sama Rayyan?" tanya Fany.
Aku menggeleng. "Baru beberapa hari yang lalu ng ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear You
Teen FictionIni hanyalah sedikit kisah tentangku. Tentangku yang dipertemukan dengan dia. Pertemuan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku. Aku tahu, ini mungkin kisah yang begitu klise. Namun, berkat pertemuanku dengannya, aku belajar banyak hal yang b...