🍂🍂🍂
Sudah ada dua minggu lamanya aku tidak bertatap muka dengan Rayyan. Ke mana dia? Padahal, sebelumnya aku sering sekali melihat dia. Apa aku harus datang ke rumahnya dulu agar bisa bertatap muka lagi dengannya? Oh, tidak-tidak. Aku tidak bisa melakukannya.Aku juga tidak memiliki nomor ponselnya. Aku lupa untuk memintanya. Cobanya aku punya, pasti sudah kutelepon dari minggu lalu. Tapi sayang, realita berkata lain.
Hh, apa ini ... yang disebut rindu?
Aku menyukainya, jadi wajar saja, kan, kalau aku mengalami yang namanya rindu?Rayyan.
Nama itu kini memenuhi pikiranku. Ya, meskipun aku tidak tahu nama lengkapnya itu siapa.
"Heh, Luthfi!"
Aku berjengit kaget begitu mendengar suara cempreng Mona yang menginterupsiku.
"Ngelamun aja, lo," tutur Mona sembari memukul bahuku pelan.
"Ish, lo ngagetin gue aja, Mon," sahutku.
"Lagi ngelamunin apa, hah? Nggak biasanya lo kayak gini, deh," tanya Mona. Oh, sepertinya dia sering memperhatikanku.
"Kepo, deh, lo."
"Lagi mikirin cowok, ya ...?" goda Mona sambil mengerling jail.
"Sok tahu, lho!"
"Habis tuh?"
Aku hanya meresponsnya dengan senyuman, lalu beranjak pergi menuju depan kelas. Menghindari Mona. Cewek itu akan terus menghujaniku dengan topik yang sama jika aku tak menjawab atau pun menghindar. Dan, beruntung Mona tidak mengikuti kepergianku.
Suara rangak yang biasa berbunyi memenuhi isi sekolah sebagai tanda dimulainya proses belajar-mengajar belum juga terdengar. Aku menyandarkan tubuh pada pilar kokoh yang berfungsi sebagai penyangga dari elemen-elemen atap yang bernaung di atasnya.
Bisakah aku kuat seperti pilar ini, yang bisa menahan beratnya konstruksi atap yang melindungi selasar ini dari guyuran air hujan?
Atau seperti fondasi yang bahkan bisa menahan beban yang berasal dari konstruksi dinding, kolom, serta atap?Seberapa kuat fondasi, itu tergantung dari perbandingan bahan materialnya serta beban yang berada di atasnya. Sama seperti manusia. Seberapa kuat mereka, itu tergantung dari seberat apa cobaan yang melandanya.
Tsk, kenapa aku jadi sok bijak, sih?
~dear you~
Mungkin dia sudah telanjur cinta. Maka dari itu, untuk move on saja bisa membutuhkan waktu yang tidak sebentar lamanya.
Paijo.
Cowok bernama lengkap Fadli Oktaviano itu tampak duduk melamun di sofa yang ada di ruang tamu. Merupakan suatu pemandangan yang membuatku tidak segan untuk berdecak lidah karena kesal. Tak seharusnya dia seperti ini.
"Seberapa berat, sih, cinta elo ke Selena, sampai-sampai tiap hari lo lamunin kayak gini, hah?" celetukku sembari duduk di sebelah Paijo.
Paijo melirik sinis ke arahku. "Cerewet," balasnya dingin.
Ini yang tidak aku sukai. Masih baik aku membantunya, eh ... tidak tahu terima kasih. Sungguh kakak yang tidak patut dicontoh. Oh, astaga! Berapa sebenarnya umurnya? Kenapa sikapnya seperti ABG yang baru saja putus cinta?
Itulah kenapa kedewasaan seseorang itu tidak bisa dinilai hanya dari umurnya saja. Percuma umurnya sudah lewat kepala dua, jika hanya gara-gara diputusin pacar saja, galaunya sampai berhari-hari. Kayak tidak ada cewek lain saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear You
Teen FictionIni hanyalah sedikit kisah tentangku. Tentangku yang dipertemukan dengan dia. Pertemuan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku. Aku tahu, ini mungkin kisah yang begitu klise. Namun, berkat pertemuanku dengannya, aku belajar banyak hal yang b...