01

41 3 0
                                    

🍂🍂🍂

Butiran air yang jatuh dari gumpalan awan di atas sana seakan-akan sedang menertawakanku yang tengah sendirian di sini. Aku kembali mengeratkan sweter yang melekat di tubuhku. Udara dingin yang datang bersama hujan sore ini berhasil membuatku sedikit menggigil.

Aku kembali menghubungi kakak laki-lakiku. Entah sudah yang ke berapa kalinya aku melakukan ini. Namun, tetap saja, suara operatorlah yang didengar oleh telingaku. Aku mendengus kesal. “Dia ke mana, sih?” ucapku pelan, nyaris berbisik.

Sudah ada satu jam lamanya aku berada di halte ini. Bukan untuk menunggu hujan reda atau bus yang lewat, melainkan untuk menunggu jemputan yang entah kapan datangnya. Sangat-sangat terlambat. Kebiasaan. Awas saja nanti.

Sangat tidak mungkin kalau dia terjebak macet. Dia selalu melewati jalanan yang tidak terlalu ramai untuk sampai ke sini. Dan, tidak mungkin juga dia sibuk dengan kuliahnya. Aku sangat tahu itu.

Selang beberapa menit kemudian, aku mencoba menghubungi cowok yang berstatus sebagai kakakku itu lagi. Namun, nihil. Hasilnya tetap sama. Kenapa harus suara operator terus yang kudengar? Hh ….

Aku mulai putus asa. Seharusnya sekarang adalah waktuku untuk bersantai di rumah. Namun, apa daya. Aku harus terjebak di sini, menunggu cowok yang entah kapan datangnya itu.

Jleger!

Bunyi gemuruh guntur berhasil membuatku terlonjak kaget. Oke, aku mulai tak nyaman berada di tempat ini. Apa aku menunggu bus atau angkot yang lewat saja, ya, daripada menunggu si Paijo (begitu aku menjulukinya) yang belum terdeteksi kedatangannya?

Aku terkejut untuk yang kedua kalinya saat mataku tak sengaja melihat seorang cowok, yang sepertinya seumuran denganku, tiba-tiba ada di sebelahku. Aku tidak melihat kedatangannya.

Cowok berpostur tubuh tinggi dan berhidung bangir itu tampak tengah menggigil kedinginan. Wajahnya juga tampak pucat. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Sesekali tampak menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya agar timbul kehangatan di sana.

Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa iba melihatnya. Aku juga merasakan udara dingin, tetapi tidak sampai menggigil seperti cowok itu. Aku lalu menatapnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Semuanya basah kuyup.

Cowok itu kemudian berjongkok. Hujan yang turun semakin deras saja. Membuat suhu udara kian dingin. Aku benar-benar kasihan melihatnya. Aku ingin membantunya lepas dari udara dingin ini. Tetapi, apa aku bisa?

Aku bisa.

Aku pasti bisa!

Batinku menjerit.

Ya, aku harus membantunya.

Aku pun melepas sweterku. Lalu, dengan penuh keyakinan, aku memberikan benda berwarna abu-abu itu ke cowok tersebut. “Ng … mungkin ini bisa membantumu merasa hangat. Ya … walaupun sedikit,” ucapku.

Cowok itu mendongak. Menatap ke arahku dengan kening yang berkerut. “Kamu ….”

Aku dengan cepat menggeleng. “Aku nggak apa-apa. Sepertinya kamu lebih membutuhkannya daripada aku.” Aku lalu tersenyum.
Cowok itu pun menerimanya, lalu memakainya.

Tak lama kemudian, akhirnya ada juga bus yang lewat. Aku sudah tidak ingin membuang-buang waktuku lagi untuk menunggu kedatangan Paijo. Aku pun tersenyum senang. “Kalau begitu, aku pulang duluan,” ujarku kepada cowok itu kemudian. Aku lalu melangkah menghampiri bus tersebut.

“Tunggu!”

Suara bass yang berasal dari cowok tadi berhasil membuatku berhenti melangkah. Aku pun lantas berbalik.

Dear YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang