16

2 1 0
                                    

🍂🍂🍂

Melamun merupakan termenung sambil pikiran melayang ke mana-mana. Itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dan, itulah yang sedang kulakukan sekarang.

Menatap pemandangan di luar jendela kamar. Padahal, di sana hanya ada beberapa pohon kecil dan juga pagar. Tidak ada yang begitu spesial. Namun, entah kenapa mataku menatapnya.

Buku tugas Bahasa Indonesia yang tengah terbuka kubiarkan begitu saja, padahal masih banyak soal yang belum selesai kujawab dengan benar di dalamnya. Ah, iya. Aku bukan siswi teladan, jadi wajar saja jika aku sedikit ng ... malas mengerjakannya.

Sebenarnya bukan sesuatu yang spesial hal yang kulamunkan saat ini. Hanya hal biasa yang kulakukan bersama Rayyan tadi. Hanya makan biasa, tanpa ada ungkapan suka, sayang, atau pun cinta layaknya seorang cowok kepada cewek yang disukainya. Oke, sepertinya otakku sudah mulai melantur ke mana-mana.

Setelah Rayyan kembali dari toilet yang hampir memakan waktu tiga puluh menit itu (aku serius), cowok itu langsung mengajakku pulang. Alasannya, sih, karena dia lupa kalau dia ada janji dengan Kak Fany. Bohong tidaknya, hanya dia dan Tuhan sajalah yang tahu. Aku pun lantas mengiyakan ajakannya. Beruntung, makanan yang kupesan sudah ludes masuk ke dalam perutku. Jadi, aku tidak mubazir makanan.

Rayyan mengantarku pulang. Bahkan sampai di depan gerbang rumahku. Hal yang paling membuatku heran yaitu, si Paijo diam saja melihatku dan Rayyan bersama. Cowok itu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Sama sekali tak protes atau pun yang lainnya. Bukannya dia kemarin-kemarin melarangku bergaul dengan Rayyan, ya?

Apa jangan-jangan ....

Ah, sudahlah. Toh, itu tak terlalu penting. Intinya, aku lupa untuk menanyakan dari mana Rayyan berhasil mendapatkan nomor ponselku. Refleks aku menepuk dahiku pelan, bersamaan dengan pintu kamarku yang terbuka.

"Lagi ngapain?" Itu Paijo, masuk kamar orang tanpa permisi.

"Lagi nonton konser. Menurut lo?" jawabku asal. Percayalah, dia sudah tahu kalau aku sedang belajar (bohong). Dia hanya ingin berbasa-basi denganku saja. Dan, biasanya dia seperti itu jika ada maunya saja.

"Kamu kok nggak bilang sih, Luth, kalau kamu kenal sama Fany?"

Tuh, kan ....

"Emangnya itu penting, ya? Kenapa? Lo mau pedekate sama dia, hah? Oh ... jadi elo yang ngasih nomor gue ke dia."

Paijo merebahkan tubuhnya ke atas kasurku. "Ya. Aku yang ngasih. Aku nggak sengaja ketemu dia kemarin waktu di warkop."

Aku berdecak. Jadi, mungkin saja karena Paijo ada hati dengan Kak Fany, lantas dia sama sekali tak protes waktu aku jalan sama Rayyan tadi. Ah ... jadi begitu. "Oh." Aku membalas seadanya.

"Kamu lagi ngerjain apa, sih?" Paijo berjalan menghampiriku.

"Ngerjain tugas. Kenapa? Mau bantuin?" jawabku.

"Sini coba." Dia mengambil buku tugasku. "Ah, ini."

"Kenapa? Lo mau ngerjain?" Semoga saja dia menjawab "iya".

"Emm ... boleh."

Yes!
Aku bersorak senang dalam hati, sekalipun dia tidak menjawabnya dengan kata "iya".

"Ya udah, kerjain. Tapi ... biasanya itu kalau sikap lo udah berubah kayak gini, itu artinya ada maksud tertentu. Gue bener, kan?"

Paijo tersenyum. Senyum yang sudah lama sekali tidak pernah kulihat. Senyum penuh arti. Cowok itu kemudian mengusirku agar menjauh dari meja belajar. Aku pun menurut saja. Toh, tak ada ruginya.

Dear YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang