07

6 2 0
                                    

🍂🍂🍂

Aku berada di sebuah taman yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang sedang bermekaran. Harum bunga-bunga itu menyeruak memasuki indra penciumanku. Aku tak hanya sendiri di sini. Di sebelahku ada Rayyan yang tampak tersenyum bahagia padaku.

"Ray, kamu nggak akan pergi ninggalin aku, kan?" Aku menatap Rayyan penuh harap.

Kulihat Rayyan menggelengkan kepala. "Enggak. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji," ucapnya.

"Janji?" Aku mengangkat jari kelingkingku ke hadapannya.

"Janji." Rayyan juga melakukan hal yang sama denganku.

Kedua jari kelingking kami pun saling bertaut. Mengikrarkan sebuah janji bahwa kami akan tetap bersama. Apa pun yang akan terjadi.

Namun, tiba-tiba saja langit yang cerah menjadi begitu gelap. Suara gemuruh guntur begitu memekakkan telinga. Aku kalut. Kulihat sekelilingku.

Aku bingung.

Aku takut.

"Rayyan!" Aku berteriak, memanggil nama Rayyan. Berharap dia masih tetap ada di sisiku sekarang.

Tak ada sahutan.

"Rayyan!" Aku memanggilnya sekali lagi.

Namun, tetap sama. Tidak ada sahutan.

Langit yang gelap tiba-tiba saja kembali cerah. Kulihat sekelilingku lagi. Tidak ada siapa pun di tempat ini. Aku sendiri.

Rayyan, kamu di mana?

"Rayyan!" Aku memanggil Rayyan untuk ke sekian kalinya.

"Rayyan!"

Tetap saja, tidak ada sahutan.

Segera kulangkahkan kedua kakiku ini untuk mencari keberadaan Rayyan.

Ke segala arah.

Hingga akhirnya, aku menemukan Rayyan. Dia tampak berjalan keluar dari taman ini. Bersama dengan seorang gadis yang sangat aku kenali.

Dinda.

"Rayyan!" Aku memanggilnya lagi dan lagi.

Rayyan pun menoleh.

Aku segera berlari menghampirinya.

"Rayyan, kamu mau ke mana?" Aku bertanya kepada Rayyan.

"Maaf, Luthfi. Aku tidak bisa menepati janjiku. Aku harus pergi," jawab Rayyan.

"Apa? Tidak, Rayyan. Kita sudah berjanji bahwa kita akan selalu bersama."

"Maaf, aku mengingkarinya," sesal Rayyan.

"Rayyan, kita harus pergi." Dinda yang berdiri di sebelah Rayyan berujar.

"Tidak! Kamu nggak boleh pergi, Ray!" Aku menggeleng-gelengkan kepala.

"Maaf, Luth. Aku harus pergi. Sampai jumpa!"

Rayyan dan Dinda pun mulai melangkah pergi.

"Rayyan! Aku mohon, jangan pergi ...."

Aku terisak sembari menatap punggung Rayyan yang mulai menjauh dan hilang ditelan kabut.

"Rayyan!"

"Rayyan! Hah ... hah ... hah ...."

Ternyata itu hanya mimpi.

Aku segera bangun dan mengambil air minum yang ada di nakas, lalu meminumnya hingga menyisakan setengah. Setelah itu, kuhela napas dalam-dalam dan mengembuskannya Aku tidak mengerti, kenapa aku bisa bermimpi seperti itu. Padahal, sebelum tidur aku tidak lupa untuk berwudu dan membaca doa.

Dear YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang