04

4 2 0
                                    

🍂🍂🍂

Aku mengernyit bingung saat menemukan sebuah amplop berwarna merah muda di laci mejaku saat aku berniat ingin menyimpan buku cetak Matematika di sana. Apa ini sebuah surat cinta? Pasalnya, di sampulnya terdapat sebuah goresan tinta yang berbentuk hati. Oh, ayolah … ini sudah tahun 2k18, sudah tidak zaman lagi yang namanya mengirim surat cinta seperti ini. Ini bukan lagi zaman di mana ayah dan ibu kalian masih remaja.

Aku kemudian membuka amplop tersebut. Dan, benar dugaanku kalau isinya adalah surat cinta.

✉✉✉

Untuk : Luthfia Fitri

Aku hanya ingin mengatakan padamu bahwa aku menyukaimu.
Sekian.

Dari : Aku, Orang yang Menyukaimu

✉✉✉

Aku mendengus begitu selesai membacanya. Sungguh menggelikan. Sepertinya si pengirim terlalu sering menonton film dan sinetron tentang cinta. Jadinya, ya, begitu. Mencoba puitis, namun gagal.

“Mona, lo tahu nggak, siapa yang ngirim nih surat?” Aku bertanya kepada Mona yang tengah sibuk dengan kamus Indonesia-Inggris di tangannya.

Mona mengangkat bahunya tanda tak tahu. “Nggak tahu. Bukannya lo yang lebih dulu sampai kelas, ya, daripada gue?”

“Ah, iya. Gue lupa.”

Aku menghela napas. Aku tidak hafal dengan pemilik tulisan tangan yang berhasil menyusun kalimat singkat ini. Tulisannya indah. Setahuku, tidak ada siswa yang tulisannya seperti ini di kelasku. Mungkin dia siswa dari kelas lain.

Aku melipat kembali surat tersebut, dan memasukkannya ke dalam amplop. Persetan dengan siapa pengirimnya, aku penasaran omong-omong. Aku lalu berjalan keluar dari kelas, menuju kelas sebelah.

“Jeremy!” Aku memanggil Jeremy yang berjalan memasuki kelasnya.

Jeremy berhenti di hadapanku. “Ada apa?” tanyanya.

Aku membuka amplop yang kupegang, dan memperlihatkan isinya kepada Jeremy. “Lo tahu tulisan tangan ini, nggak?” tanyaku.

Cowok berperawakan tinggi itu mengernyit. Lalu, dia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, ya, ya.”

“Lo tahu, nggak?” tanyaku sekali lagi.

“Tahu,” jawabnya enteng. Dia kemudian menunjuk seorang cowok berkacamata yang duduk di bangku depan paling pinggir. “Tuh, orangnya.”

Aku mendengus melihatnya. Ternyata pelakunya adalah cowok itu. Namanya Arya, cowok introvert yang katanya anti sosial. “Oke, makasih, Jer.”

“Sama-sama.”

Aku lalu memasuki kelas XII IPA 2. Berjalan menghampiri Arya. “Arya,” panggilku.

Arya yang sedang asyik mencoret-coret bukunya pun mendongak. “Ya?” sahutnya.

Aku lalu memperlihatkan amplop tadi kepada Arya. “Ini ulah elo, ‘kan?” tuduhku.

“I-itu ….” Arya menggantungkan ucapannya.

“Gue bener, ‘kan?” Aku mengangkat sebelah alisku.

“I-iya.”

“Aku mendengus. “Kenapa lo lakuin ini, hah?” tanyaku.

“Karena gue suka sama elo, Luth,” jawab Arya.

“Tapi nggak pakai surat-suratan kayak gini juga kali, Ar. Malu-maluin tahu,” kesalku.

Dear YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang