19

3 1 0
                                    

🍂🍂🍂

Kepergiannya terlalu cepat bagiku.
Entah aku harus sedih atau senang.
Sedih, sebab aku tidak bisa lagi melihat senyumnya.
Senang, sebab Tuhan tidak membuatnya menderita lebih lama lagi.

~dear you~

Hari Minggu telah datang. Kini, aku berada di ruang rawat Jia, sendiri tanpa ditemani Rayyan. Nomor Rayyan waktu kuhubungi tadi tidak aktif. Mangkanya, aku sendiri datang ke sini.

Aku menatap sendu Jia yang tengah terbaring di atas ranjang. Dokter bilang kondisinya kian memburuk. Namun, senyum masih tampak terpatri di kedua sudut bibir mungilnya. Aku sangat salut dengan semangat hidup Jia.

"Kepala Jia sakit?" aku bertanya ke Jia saat kulihat dia tampak meringis seperti menahan sakit. Aku menggenggam tangannya erat. Mencoba menguatkannya.

Jia menggeleng. Lalu, dia tersenyum. Aku tahu dia sedang berbohong. Bibir pucatnya tampak menggumamkan sesuatu.

"Kenapa, Jia? Jia butuh sesuatu?" tanyaku padanya.

Jia menggeleng lagi, lalu berkata, "Kak Rayyan mana, Kak?" Suaranya terdengar lirih.

Aku menggeleng. "Kakak nggak tahu. Tadi Kakak hubungi nomor ponselnya nggak aktif. Ada apa, Jia?"

"Nggak, Kak. Kuharap Kak Rayyan baik-baik aja."

Ya, kuharap seperti itu. Semoga saja luka di wajahnya cepat pulih.

Tiga puluh menit kemudian, aku memutuskan untuk pulang. Jia butuh istirahat. Aku tidak bisa mengganggunya lebih lama lagi, ya meskipun dia senang jika aku menemaninya. Aku ingin melihat Jia seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Tampak ceria dan senyum selalu merekah di bibir pucatnya.

Aku tidak langsung pulang ke rumah, melainkan singgah dulu di rumah Rey. Cowok itu tampak sedang sibuk dengan ponselnya. Biasa, kalau bukan main PUBG, ya Mobile Legend.

"Nyokap ama bokap lo mana, Rey?" tanyaku sembari duduk ke atas sofa tepat di sebelah Rey.

"Keluar tadi. Nggak tahu ke mana. Shopping kali," jawabnya tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.

"Lo kok nggak ikut? Biasanya juga suka ngintil mulu."

"Males banget. Kalau di mal, kan, banyak orang, otomatis juga banyak cewek, dong. Masa iya, gue ke sana bareng nyokap? Mau ditaruh di mana muka gue yang ganteng ini, hah?" cerocos Rey ngalah-ngalahin cewek yang lagi menyiduk cowoknya yang ketahuan selingkuh. "Oh, ya, gimana keadaan cowok lo?" tanyanya kemudian.

"Cowok gue? Yang mana? Gue, kan, single."

Sepertinya dia menanyakan Rayyan.
Cowok gue?
Dengan senang hati aku akan menjawabnya iya. Dalam hati tapi.

"Itu, cowok yang lo bawa ke sini kemarin. Yang babak belur itu."

"Ah ... entah. Gue nggak tahu."

"Kok bisa nggak tahu, sih?"

"Nomornya nggak aktif."

"Kenapa nggak lo datengin aja rumahnya? Ya ... siapa tahu dia demam gitu."

Duh, kenapa si Rey jadi cerewet banget, sih? Tapi ... ada benarnya juga ucapannya itu.

"Enggak. Nggak ada temen. Emangnya lo mau ikut, kalau gue ke sana?"

Rey langsung menggeleng. "Males, deh."

Aku lalu mendekatkan wajahku ke ponsel Rey. "Lo sebenarnya lagi main apa, sih?"

Pasti Mobile Legend. Soalnya dia nggak ribut. Tidak seperti kalau lagi main PUBG.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dear YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang