15. The Last Confession

2.4K 371 94
                                    

Aleysha mungkin tidak pernah menyadari jika kehadiran Jeno justru membuatnya semakin tidak bisa tidur.

Ia memunggunginya dan berusaha untuk memejamkan mata. Namun dalam hati masih sibuk bertanya, padahal ia sudah menenggak obat demam, bagaimana mungkin kedua matanya masih bertahan melawan kantuk?

Meski benar jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan dan itu bukan jam tidur Aleysha, tapi tetap saja, ia harusnya sudah tertidur.

Tidak jauh berbeda dengan Aleysha, Jeno masih terjaga. Ia tidur terlentang dengan salah satu tangan menopang kepala sembari menatap langit-langit kamar. Suhu tubuhnya perlahan terasa meningkat, tapi Jeno sadar jika ia tidak sedang deman. Kedua matanya terbuka nyalang, sama sekali tidak ingin tertutup.

Suara gerakan gelisah Aleysha menyapa pendengaran Jeno. Sejak pertama kali Jeno bergabung di atas ranjang, gadis itu terus bergerak kesana kemari sebagai pertanda jika ia tidak berhasil tidur.

"Tidak bisa tidur?" suara Jeno menggema di penjuru ruangan yang hening. Melawan desisan angin ribut yang terdengar nggesek dinding dari luar. "Apa aku harus kembali ke sofa?"

Suaranya terdengar amat sungkan. Jeno sudah menduga kondisi ini akan membuat Aleysha tidak nyaman.

"Tidak." tapi Aleysha menjawab dengan cepat. "Aku hanya.. sedikit kedinginan."

Dan itu adalah alasan paling konyol yang pernah Aleysha lontarkan. Bruntung Jeno tidak menanggapinya. Lelaki itu hanya diam untuk beberapa saat.

"Butuh pelukan?"

Pertanyaan itu sempat membuat Aleysha mati rasa diserang keterkejutan. Namun suara Jeno kala bertanya membuatnya terdengar amat tulus. Seolah lelaki itu tidak menawarkan apa-apa selain pelukan guna membuatnya hangat.

Tidak tau bagaimana harus menjawab, Aleysha justru bergelung ke dalam selimut. Sebelum akhirnya gadis itu merasa ranjang bergerak dan tiba-tiba saja seseorang memeluknya dari belakang.

Semua terjadi dengan begitu cepat. Alih-alih berontak, Aleysha hanya mampu terdiam kaku. Jeno melingkarkan lengan pada permukaan perutnya dan menarik tubuh Aleysha mendekat. Punggung gadis itu membentur dada bidang Jeno.

Hangat menguar dua kali lebih cepat dari yang bisa Aleysha bayangkan. Tubuhnya yang semula bergetar halus menahan gigil perlahan menjadi lebih tenang. Jeno memeluknya dengan lembut. Namun secara aneh, lelaki itu menularkan kehangatan dan kenyamanan yang membuat Aleysha enggan kehilangan.

"Sudah hangat?"

Aleysha mengangguk kaku dalam pelukannya.

"Sekarang tidurlah."

Usai mengatakannitu, ruangan kembali ditelan keheningan. Suara gesekan ranting pada dinding, angin yang kencang dan salju yang menghantam kaca homestay menjadi satu-satunya musik pengiring tidur bagi keduanya.

Aleysha dapat merasakan nafas Jeno berderu di leher belakangnya. Gadis itu sudah berusaha memejamkan mata berkali-kali, namun lagi-lagi kembali gagal. Saat ia masih kesulitan untuk tidur, nafas Jeno justru sudah mulai teratur. Aleysha menghembuskan nafas gusar mengatasi rasa frustasinya sendiri. Sudah mengonsumsi obat demam, sudah bergelung hangat di atas ranjang, bahkan sudah dipeluk oleh Jeno pun tidak membuat matanya mampu terpejam barang sejenak.

Sebab jantung Aleysha tengah berdebar tidak teratur.

Gadis itu sadar betul apa yang terjadi di antara mereka. Jeno pernah menyakitinya berkali-kali. And yet she stay still when he give her a hug. Harusnya Aleysha marah. Harusnya ia tidak membiarkan lelaki yang telah menyakitinya justru menyentuhnya seperti ini. Harusnya ia merasa.. dilecehkan?

[✔] Querencia | Jeno LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang