Rumah Keluarga Tedja, 2018
Jadi aku mengingat sekilas akan pertama kalinya aku bertemu dengan Austin setelah aku melihat wajahnya. Sebenarnya aku tidak mau bertemu dengan Austin lagi. Karena aku merasakan betapa susahnya untuk melupakannya. Dan kini dia berdiri di ambang pintu menatapku yang juga sedang menatapnya.
Ia memalingkan wajahnya dariku tanpa mengatakan sesuatu kepadaku. Tia dan satu orang lagi datang dan berdiri dekat kami.
Astaga, Leo! Betapa banyak hal yang terjadi di waktu yang sama, sampai aku jadi pusing harus melihat ke arah yang mana!
Di sebelah kananku ada Austin. Di sebelah kiriku ada Leo. Aku harus liat kemana?
Seketika aku terkejut ketika aku melihat keberadaan Leo. Akhirnya aku memutuskan untuk melihat ke arah Leo dan bertanya, "Leo, kan?"
Leo melihat ke arahku dan melihat ke kanan dan ke kiri-dia menunggu seseorang untuk memberitahukannya siapa aku ini.
"Ah, ini temen kerjaku, Kak Agita. Kak Agi, ini kedua kakakku, ini Kak Lionel-" dia menunjuk ke arah Leo yang berdiri di sebelahnya "-yang itu Kak Austin." Tia menunjuk ke arah Austin yang berdiri di sebelah kananku.
Setelah Tia selesai memperkenalkan kedua kakaknya, Austin maju ke arahku dan menawarkan tangannya untuk bersalaman denganku. Ia tersenyum dan berkata, "Halo."
Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana cepatnya jantungku berdegup. Aku khawatir mereka bisa mendengar suara jantungku yang berdegup dengan kencang itu. Aku mengambil tangannya dan berjabat tangan dengannya.
Leo juga berjalan maju dan mengajakku bersalaman. "Hai," sapanya. Sulit dipercaya. Ini benar Leo? Penyanyi terkenal itu?
Aku bersalaman dengannya. "Ini beneran Leo?" tanyaku spontan. Aku tidak tahu nama lengkapnya dan nama aslinya siapa. Jadi aku hanya bisa menanyakan nama panggungnya, yaitu Leo.
Dia tersenyum. Aku merasakan adanya suatu perasaan yang ingin meledak di dadaku. Leo menganggukan kepalanya. Aku tahu pasti wajahku menunjukkan ekspresi bahagia yang tidak bisa aku tahan. Dan aku rasa Leo juga mengetahuinya.
Dengan spontan aku bertanya, "Boleh minta tanda tangan?"
"Ya boleh dong," jawabnya dengan senang.
Aku meraba-raba celanaku. Yah, aku tidak punya kertas atau pulpen! Aku melihat ke sekitar dan tidak menemukan kertas ataupun pulpen.
"Nih," ucap Austin tiba-tiba. Dia mengeluarkan note kecil dan pulpen dari sakunya. "Sekecil ini gapapa?" Ia menunjukkan note itu. Note itu seperti note untuk suatu perusahaan tertentu-terlihat dari adanya logo dan tulisan di halaman depan note itu.
"Gapapa," jawabku. Austin merobek selembar kertas dari note itu dan memberikannya kepadaku beserta pulpen. Aku mengambilnya dan memberikannya kepada Leo.
Leo mengambil kertas dan pulpen itu. Aku baru sadar kalau ibu-ibu yang menawarkan minum kepadaku tidak ada disini. Entah kapan dan kemana perginya. Mungkin aku tidak terlalu menyadari kapan dia pergi karena aku terlalu fokus dengan Austin dan Leo.
Austin dan Tia pergi meninggalkan kami berdua di ruang tamu.
Mungkin dia lupa akan aku. Atau, mungkin dia tidak pernah tahu akan aku.
Leo selesai menandatangani kertas itu. Ia memberikannya kepadaku. Aku melihat tanda tangan itu. Wah, tanda tangan Leo!
"Terima kasih banyak!" kataku dengan nada yang terdengar sangat senang.
Leo tersenyum. "Sama-sama."
Tiba-tiba, Tia datang kembali dan mengatakan, "Kak Agi, makan malam dulu, yuk. Diajak sama ayahku."
"Hah? Ga usah, deh," jawabku.
"Daerah rumah Pak Tio itu jauh. Kita nanti kelaparan di jalan. Mending makan dulu disini." Aku terdiam. Nolak juga ga enak sebenernya, pikirku. "Selagi ada Kak Lio juga disini. Dia baru pulang tur."
Oh iya benar. Leo baru saja menyelesaikan turnya di daerah Amerika. Kapan lagi bisa satu meja dengan Leo?
"Oke, deh," jawabku.
Selamat menunggu, Pak Tio.
Tia mengajakku untuk pergi mengikutinya ke ruang makan. Aku mengambil tas kecilku yang aku bawa kemari dan mau menaruh kertas tanda tangan Leo ke dalam tas. Aku melihat kertas itu lagi. Di belakang tanda tangan Leo aku menemukan tulisan: Rumah Sakit Peduli Nasional Jakarta.
***
Ketika aku berjalan ke arah ruang makan, aku melihat bahwa di belakang rumah ini ada taman yang sudah diterangi oleh lampu-lampu taman yang cantik. Aku juga melihat dapur yang lumayan besar yang berada di dekat ruang makan.
Ayah Tia-atau mungkin seharusnya aku memanggil dia Dokter Tedja?-sudah duduk di salah satu kursi yang ada. Ketika dia melihat aku datang, dia berdiri dan menyambutku. Kami bersalaman. Ayahnya sangat ramah.
Leo pergi menaiki tangga. Sedangkan Austin tidak terlihat batang hidungnya. Di ruang makan ada seorang laki-laki yang aku pernah lihat wajahnya di foto keluarga yang ada di ruang tamu. Oh, dia atlet bulutangkis itu! Rio!
"Kak Agi, kenalin ini kakakku lagi, Kak Oliver," kata Tia. Oh, bukan Rio atlet itu? Tapi kok, sangat mirip? Di foto keluarga itu juga ada dua yang wajahnya seperti ini? Jangan-jangan mereka kembar?
Oliver berdiri dan bersalaman denganku sambil tersenyum. Aku dipersilakan untuk duduk di seberang Oliver dan Tia duduk di sebelahku. Tia menambahkan, "Ini dia yang buat kue yang pernah kakak coba itu."
"Oh," sahutku. Aku melihat ke Oliver dan mengatakan, "Enak kue buatanmu." Sangat canggung.
"Terima kasih. Kalau ada waktu, boleh berkunjung ke restoran La Mia Famiglia," ujar Oliver.
"Restoran apa? La Mia...," kataku.
"La Mia Famiglia. Itu artinya 'keluargaku' di dalam bahasa Italia."
Aku mengangguk. "Daerah mana?"
"Di daerah Thamrin."
"Oh, berarti jual pasta-pasta gitu ya?"
"Yep, benar sekali."
Kemudian datanglah Leo, Austin dan satu orang lagi yang sangat mirip dengan Oliver. Tanpa diperkenalkan oleh Tia, orang yang mirip dengan Oliver langsung mengajakku untuk bersalaman dan menyebutkan namanya, "Rio, kembarannya Oliver."
Ternyata benar! Atlet bulutangkis itu! Dia saudara kembarnya Oliver! Keluarga ini penuh dengan kejutan ya.
"Agita," balasku.
"Tunggu," cetus Austin tiba-tiba. Aku langsung melihat ke arahnya yang berdiri di sebelah Rio. "Kok kamu kayak familiar ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Me & Her Brothers
RomanceAgita adalah seorang perempuan yang penuh dengan mimpi menjadi seorang animator. Dia bekerja menjadi seorang animator di salah satu studio animasi lokal. Semuanya berjalan dengan damai sampai akhirnya ada salah satu karyawan baru di perusahaan anima...