3

29 3 0
                                    

"Hampir kecopet?!" sahut Heni terkejut. "Dimana? Kapan?"

Baik aku maupun Cynthia tidak menyahuti pertanyaan Heni yang lebih dari satu itu. Aku mengambil tangan Cynthia dan menjawab, "Agita Kangean, panggil aja Agi."

"Kak Agi," katanya mengulangu namaku. Dia menambahkan 'kak' menandakan kalau dia lebih muda dariku. "Mohon bantuannya ya, Kak," lanjutnya.

"Kak? Kamu umur berapa?" tanyaku.

"Dua puluh dua tahun. Baru aja lulus," jawabnya dengan penuh semangat.

"Oh," sahutku. Berbeda empat tahun denganku. Fresh graduate dan sudah bekerja disini. Sama sepertiku.

"Kerja, kerja, jangan ngobrol terus," ucap seseorang yang tiba-tiba datang. Kami semua memalihkan pandangan kami ke arah sumber suara itu.

Sheila. Satu-satunya animator karakter yang kurang mempunyai hubungan yang baik dengan aku maupun Heni. Kami jarang mengobrol, jarang makan bersama, dan jarang bergaul bersama. Dia adalah seorang yang sangat kolerik dan kaku. Dia adalah yang paling tua di antara aku dan Heni setelah Pak Tio.

Aku pergi ke mejaku dan duduk di kursiku. Aku nyalakan komputerku.

"Ini Sel, ada karyawan baru," ujar Heni yang masih berdiri.

Aku melirik ke arah Sheila. Dia sedikit melirik ke arah Cynthia dan menjawab, "Oh."

Hanya itu. Ya, hanya itu yang dia balas. Cynthia menampilkan wajah yang berkata, 'Kok dia begitu?'. Heni kembali ke mejanya yang berada di sebelah meja Sheila, dan Cynthia juga kembali duduk di kursinya.

"Dia Sheila. Dia memang gitu orangnya," kataku.

"Ah," jawab Cynthia. "Mau kue?"

"Hah?" tanyaku. Sebuah pertanyaan yang tidak aku duga yang keluar dari mulutnya. Tiba-tiba, dia mengambil kotak makanannya yang dia taruh di atas meja. Dia membuka kotak makanannya yang berwarna ungu-putih itu dan memperlihatkan isinya kepadaku.

Kue-kue yang terlihat seperti Oreo. "Oreo?"

Dia tersenyum. "Tapi homemade," jawabnya. Aku membesarkan kedua mataku karena aku terkejut.

"Buat sendiri?" tanyaku meyakinkan bahwa aku tidak salah dengar.

"Bukan buatanku, sih. Buatan kakakku. Cobain deh ambil satu." Aku mengambil satu. Dan memang tidak ada tulisan atau logo Oreo di atas kue berwarna hitam itu. Tapi bentuknya sama seperti Oreo.

"Gimana? Enak?"

Rasanya sama seperti Oreo. Apa ini benar homemade? "Enak," aku menjawab dengan mengangguk. "Beneran buat sendiri?"

"Kakakku sih yang buat. Dia mau re-create kue-kue terkenal tapi dengan bahan-bahan yang lebih sehat dan low sugar gitu," jelasnya.

"Oh, dia koki?"

"Hmm, bisa dibilang begitu. Aku disuruh sama dia buat survey enak apa engga kue yang dia buat. Nasib seorang adik," katanya. Aku sedikit tertawa mendengar kalimat terakhirnya itu.

"Oke, bilangin kakakmu ini enak. Makasih ya, Sin."

"Tia aja panggilnya, Kak. Aku biasa dipanggil Tia," jawabnya.

"Oh oke."

Tia menutup kembali tempat makanannya itu dan menaruhnya di tempat dia menaruh tempat makanan itu sebelumnya.

Aku memerhatikannya. Dia terlihat seperti orang yang sederhana. Rambutnya berwarna hitam lurus dan diikat dengan rapi. Ditambah dengan penampilannya yang rapi-kemeja dan celana jeans, juga sepatu tertutup, mungkin dia adalah seorang anak yang patuh kepada orang tuanya dan seorang anak yang baik-baik. Mungkin dia juga adalah seorang anak yang jarang keluar rumah.

Aku jadi ingin tahu kemampuan dia di dalam menggambar animasi. Dan tidak tahu mengapa aku jadi teringat akan seseorang yang aku tidak ingat siapa setelah aku melihat wajahnya dan namanya. Hmm, siapa ya?

Cynthia Tedja. Seperti ada yang familiar dari nama itu.

Sudahlah, itu tidak penting.

Mari kita menggambar!

***

Waktu makan siang tiba-ditandai dengan keluarnya Pak Tio dari ruangannya-tidak, ditandai dengan jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas siang, lalu Pak Tio yang mulai meregangkan badannya, melepaskan kacamatanya, dan berdiri dari kursinya. Mejaku benar-benar bersebelahan dengan ruangan Pak Tio. Jadi aku adalah yang paling sadar akan hal itu. Tapi aku berpura-pura tidak menyadarinya dan fokus dalam mengerjakan pekerjaanku.

Pintu ruangan Pak Tio terbuka. Kami berempat menengok ke arahnya dan Pak Tio berkata, "Makan siang dulu, ya."

Kami semua langsung berdiri dan berkata, "Baik, Pak."

"Biasanya kalian makan dimana?" tanya Tia.

"Makan di kafetaria bawah aja," jawab Heni.

"Boleh," sahut Tia dengan sebuah senyuman. "Kak Sheila, ikut?"

Aku dan Heni mengikuti arah pandang Tia yang sedang melihat ke arah Sheila yang kembali duduk di kursinya setelah Pak Tio pergi. Di dalam pikiranku, aku menjawab pertanyaan itu. Jelas dia akan menolak. Sheila menjawab, "Ga, aku bawa bekal." Benar, kan?

Meskipun Sheila tidak melihat ke arah Tia, Tia hanya menganggukan kepalanya sedikit. Kemudian kami bertiga pergi ke kafetaria yang ada di lobi.

Selama perjalanan menuju kafetaria, kami mengobrol cukup banyak di dalam lift. Aku rasa Heni juga ingin tahu lebih tentang kehidupan Tia. Ya, aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku tertarik untuk mengetahuinya.

"Cynthia," panggil Heni.

"Tia aja, Kak," jawab Tia.

"Oh, iya. Ya ampun ada Pak Tio, ada Tia. Jadi pusing, kayak nama anak kembar," canda Heni. Tia tertawa. "Kok kamu mau kerja disini?"

Pertanyaan Heni seperti pertanyaan seorang HRD yang mewawancarai calon pegawai. Tapi, aku juga ingin tahu sih.

"Iya, dari dulu aku suka menggambar. Aku suka nonton film animasi. Jadi, cita-citaku sejak dulu ya, jadi animator," jelasnya.

Jawabannya sama seperti jawabanku kalau aku ditanya pertanyaan yang sama.

"Kok tau perusahaan ini?" lanjut tanya Heni.

Tia menggaruk tengkuknya. "Aku suka merhatiin acara festival animasi gitu. Aku kaget, kok ada yang dari Indonesia. Maksudnya, wow keren banget. Terus aku cari tau soal perusahaan ini," jelas Tia dengan terlihat penuh semangat.

Aku mengangguk.

"Ya, walaupun ada sedikit pertentangan dari orang tua, sih," lanjut Tia tiba-tiba ketika kita sudah sampai di lobi.

"Pertentangan?" tanya Heni.

"Iya. Mereka ga mau aku jadi animator."

"Terus mereka mau kamu jadi apa?" aku bertanya.

Tia terdiam sebentar dan menjawab, "Dokter."


Me & Her BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang