8

17 3 0
                                    

Malam itu, Oliver yang memasak semua makanan yang ada di meja makan. Dia sengaja memasak malam hari itu karena dia senang kakaknya akhirnya pulang dari turnya. Itu yang dikatakan oleh Tia. Mendengar hal itu, Leo tertawa sampai tersedak. Dan semuanya malah tertawa terbahak-bahak melihat Leo tersedak.

Kecuali aku. Aku hanya tertawa sedikit sambil mengambil pandangan sesekali ke arah Austin yang duduk persis di seberangku. Aku rasa aku terlalu merasa tegang untuk bisa menyesuaikan dengan suasana yang ada di saat itu.

Tenanglah, Agi. Austin bahkan gak tau nama lo.

"Agi," panggil ayah Tia. Aku langsung melihatnya yang duduk di ujung meja. "Terima kasih ya kamu udah mau bimbing Tia di kantor. Saya dengar kamu membimbing dia dengan baik."

"Ah iya, Om. Biasa aja," sahutku.

"Tia di kantor gimana, Gi?" tanya Leo, tapi belum sempat aku jawab pertanyaan itu, dia bertanya kembali. "Eh, btw lo kelahiran tahun berapa?"

Jadi aku menjawab pertanyaan terakhirnya. "92, seumur kok sama kamu."

"Mmm," sahut Leo sambil minum air. "Kalo gitu, ga usah formal-formal banget manggilnya. 'Lo gue' juga gapapa."

"Berarti aku manggilnya Kak Agi, ya," ujar Oliver.

Aku hanya tersenyum-mengiyakan pernyataan mereka.

Malam itu adalah suatu malam yang berbeda. Bisa satu meja makan dengan penyanyi, atlet bulutangkis, seorang koki yang berbakat, dan tentunya dengan cinta masa lalu.

***

Aku dan Tia bersiap untuk pergi menuju rumah Pak Tio. Kami sudah masuk ke dalam mobil Tia. Tapi mobilnya tidak mau jalan.

"Kok gini, ya?" tanya Tia sendiri.

Aku hanya bisa terdiam, karena aku tidak tahu apa-apa soal otomotif. Lalu, muncullah Leo mengetuk kaca mobil Tia dan Tia menurunkan kaca itu. "Kenapa? Mogok lagi?"

"Iya, nih. Padahal udah diservis."

"Coba distarter sekali lagi," ucap Leo. Tia melakukan apa yang Leo minta. Mesin mobil tetap tidak mau menyala. "Buka kap mobilnya coba." Tia menuruti Leo lagi dan dia keluar dari mobilnya.

Sedangkan aku hanya tetap duduk di dalam mobil dan memerhatikan Tia dan Leo yang sedang berada di depan mobil. Setelah beberapa saat Leo memeriksa keadaan dalam kap mobil, kap mobil tersebut ditutup olehnya. Kemudian mereka berdua terlihat mengobrol sedikit, tapi aku tidak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

Selesai mengobrol, Leo pergi meninggalkan Tia. Tia pergi mendekati pintu mobilku. Melalui jendela yang terbuka di sebelahku Tia berkata, "Maaf nih, Kak tapi mobilnya ngadat lagi. Jadi kita pindah mobil ya, naik mobil Kak Leo-"

Deg. Aku? Akan naik mobil Leo?

Aku tahu Tia belum selesai bicara, tapi karena aku sudah terlalu terkejut karena ingin naik mobil Leo, aku tidak tahu dia bicara apa.

"Kak? Kak?" panggil Tia menyadarkanku.

"Ah iya?" jawabku.

"Gapapa kan?" tanyanya.

Dia bercanda kan? Mana mungkin aku menolak untuk naik mobil Leo?

Aku keluar dari mobil dan menunggu Leo mengeluarkan mobilnya. Datanglah mobil putih Leo dan berhenti di depan aku dan Tia yang sedang berdiri.

"Kak Agi kan yang tahu jalannya, jadi Kak Agi aja yang duduk di depan ya," kata Tia-langsung menyerbu pintu belakang dann masuk ke dalam mobil.

Deg. Ini Tia memang sengaja atau bagaimana?

Dengan berat-walaupun di dalam hati sebenarnya senang, aku membuka pintu itu dan duduk di sebelah Leo. Aku melihat ke arah Leo ketika aku memasuki mobilnya dan dia tersenyum.

Kenapa dia tersenyum? Hal itu membuatku sedikit tidak tenang. Senyumannya mirip dengan senyuman Austin. Dan kalau dipikir-pikir mirip juga mirip dengan senyuman Tia. Sebuah senyuman yang mengalir di dalam keluarga Tedja.

Selama perjalanan, aku tidak bisa tenang. Duduk tegak. Kedua tangan ada di atas pahaku. Melihat ke arah luar jendela yang ada di sebelahku. Aku tidak berani melihat ke arah Leo lagi. Apalagi mengobrol dengannya.

Tia memainkan ponselnya dan hanya bersantai di belakang.

Menyadari suasana yang canggung itu, Leo menyalakan radio. Ia memutar beberapa stasiun radio-mencari yang mana yang paling bagus untuk diputar. Akhirnya ia berhenti ketika ada radio itu memainkan sebuah lagu berbahasa Korea.

Tunggu, sepertinya aku tahu lagu ini. Shaun! Bad Habits!

Ketika lagu itu sampai di bagian refrain, aku tidak bisa menahannya lagi. Akhirnya aku menyanyikan bagian refrain lagu itu sambil melihat ke arah jalan di depan. Tapi dengan suara kecil. Kecil sekali.

Aku bisa melihat dari sudut mataku kalau Leo melirik ke arahku. Refleks, aku melirik ke arahnya lagi.

"Suka lagu ini juga?" tanyanya.

"Hehe iya."

"Wah, lo suka K-indie?"

Aku menjawab dengan jawaban yang sama lagi untuk pertanyaan itu.

Leo tersenyum lebar. "Sama dong kayak gue. Gue juga ga begitu suka sama K-pop, lebih suka ke K-indie kayak Shaun, 1415-"

"PAUL KIM!" jawab kami bersamaan. Kemudian kami tertawa karena kami menyadari kalau selera musik kita sama.

"Wah, akhirnya ada yang punya selera musik yang sama kayak lo ya, Kak," sahut Tia dari jok belakang.

"Iya akhirnya gue nemu orang yang suka sama K-indie." Aku hanya tersenyum karena aku tidak tahu harus jawab apa. "Nanti lo nonton festival K-indie yang digelar di Singapura?"

"Engga, lo nonton?"

Leo terdiam sebentar. "Pengen sih. Eh, ini belok ya?"

"Iya iya, belok." Mobil berbelok kanan-jeda di tengah perbincangan mengenai festival. Aku tahu ada festival itu. Dan aku juga mau datang ke festival itu. Tapi... Uang darimana?

"Festival apaan sih?" tanya Tia.

"Indielasting."

Tia memajukan badannya ke antara aku dan Leo. Ia menatap Leo dan bertanya, "Yang kamu manggung itu?"

Hening.

"Ini kan kompleks perumahannya?" tanya Leo mengalihkan pembicaraannya. Dan memang benar. Portal kompleks perumahan Pak Tio sudah terlihat.

Me & Her BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang