Hari dimana aku terkena cacar adalah hari Kamis. Jadi aku mengambil cutiku selama dua hari di hari Kamis dan Jumat dengan harapan bahwa di hari Senin aku sudah bisa bekerja lagi. Karena aku tidak mau membuang jatah cutiku terlalu banyak.
Di hari Kamis itu aku seharian istirahat di rumah. Badanku benar-benar terasa tidak enak dan dipenuhi dengan rasa gatal di sekujur tubuh. Rasanya seperti demam pada umumnya, hanya saja yang ini ada rasa gatal-gatal itu. Aku hanya mengisi hariku dengan aktivitas tidur, makan sedikit, minum obat, dan pergi ke toilet kalau aku benar-benar sudah tidak bisa menahannya. Bangun dari tempat tidur saja sudah lemas. Benar-benar lemas.
Dan pikiranku terkadang masih memikirkan bagaimana malunya aku ketika menanyakan soal Johanna ke Austin tadi. Kalau sudah merasa sangat malu untuk memikirkannya, aku akan menarik selimut untuk menutupi kepalaku-untuk mengatakan kepada diriku agar segera melupakan hal itu. Lagipula apa salahnya aku menanyakan Johanna? Kan aku tidak tahu kalau kenyataannya begitu.
Kemudian ponselku berbunyi. Aku ambil ponselku yang ada di meja sebelahku dan melihat bahwa Tia meneleponku. Aku angkat telepon itu.
"Halo?"
"Hai, Kak. Aku denger kakak sakit cacar ya," kata Tia.
"Iya, kok kamu tau?" Aku hanya mengatakan kepada Pak Tio kalau aku izin hari ini dan besok karena aku sakit, tapi aku tidak mengatakan kalau aku kena cacar.
Tia terdengar tertawa sedikit. "Dari Kak Austin. Bisa pas gitu ya, dokter Kakak itu Kak Austin."
"Dia cerita ke kamu?"
"Iya, tadi dia nelpon. Terus dia nanya itu temen kamu yang namanya Agita ga masuk kerja ya. Aku jawab iya kan, kok tau. Terus dia bilang, dia tadi ke rumah sakit, dia kena cacar. Gitu," jelas Tia.
Aku merinding lagi. Jadi dia membicarakanku. Tidak tahu mengapa, tapi aku jadi takut bertemu dengan Austin.
"Nanti sore aku ke rumah Kakak ya," lanjutnya.
"Hah? Mau ngapain?"
"Ya besuk Kak Tia. Masa mau maling."
Aku tertawa sedikit. "Oke, abis kerja?"
"Iya."
"Ga takut ketularan kamu?"
"Engga, aku udah pernah cacar kok dan kayaknya imun aku lagi baik-baik aja."
"Oke kalau kamu mau. Nanti aku share loc* ya."
"Oke kak."
Setelah telepon itu ditutup, aku buka akun Instagramku. Tebak aku mendapatkan berita apa. Hari itu aku menemukan giveaway** tiket untuk nonton Indielasting! Tiket penerbangan pulang pergi Indonesia-Singapura pun ditanggung oleh pihak dari pemberi giveaway. Caranya hanya dengan cara menjawab pertanyaan yang sangat mudah: Sebutkan nama lengkap dari Leo.
Gampang banget, pikirku awalnya. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, siapa nama lengkapnya? Leo Tedja? Benarkah sesingkat itu? Kalau aku cari di internet pun namanya hanya Leo Tedja. Aku tidak yakin akan jawaban itu, karena seingatku Leo itu hanya nama panggilannya.
Aku berpikir sejenak apa yang harus aku lakukan. Lalu aku teringat kalau Tia akan datang kemari nanti sore.
***
Pada sore harinya, benar saja Tia datang dengan membawa bubur yang pernah aku beri tahu ke dia bahwa bubur itu adalah bubur kesukaanku. Tia berkenalan dengan Kak Verona dan setelah itu dia masuk ke kamarku dan duduk di kursi yang ada di dekat kasurku.
Kami mengobrol untuk beberapa saat mengenai bagaimana keadaan kantor dan pekerjaan hari ini. Lalu aku teringat bahwa aku mempunyai pertanyaan untuk Tia. Siapakah nama lengkap Leo?
Aku menjelaskan kepada Tia alasan mengapa aku membutuhkan nama lengkap Leo. Setelah mengetahui hal itu, Tia pun tidak keberatan memberikan nama lengkap kakaknya itu.
"Lionel Isaac Tedja. L-I-O-N-E-L I-S-S-A-C T-E-D-J-A," Tia mengeja nama Leo. Senangnya aku bisa berteman dengan adiknya Leo.
Aku lihat jawaban-jawaban sebelumnya. Semuanya menjawab 'Leo Tedja'. Aku menjawab pertanyaan giveaway itu dengan percaya diri. Ada kemungkinan besar aku bisa memenangkan kuis ini.
Tia juga masih membicarakan suatu kebetulan dimana aku diperiksa oleh kakaknya yang adalah seorang dokter kulit. Dia masih menganggap hal itu lucu dan tidak terduga.
Dan karena aku merasa Tia adalah temanku, aku bagikan ceritaku hari ini tentang bagaimana aku menanyakan soal Johanna ke Austin.
"Kak Johanna baik banget, sih. Udah kayak kakak aku sendiri gitu," ucap Tia. "Kak Elena juga. Tapi aku lebih suka Kak Johanna," lanjutnya.
"Elena? Siapa itu?"
"Adiknya Kak Johanna. Kakak ga tau Elena De Jong?"
"Engga. Siapa itu?" tanyaku sambil memasukkan satu sendok bubur yang tidak habis-habis ke dalam mulutku.
"Dia itu artis, Kak."
"Pemain film kah?"
Tia mengangguk. "Masa ga tau sih Kak? Dia lagi nge-hits padahal sekarang."
"Aku ga ngikutin dunia hiburan gitu, jadi ya aku ga tau."
"Aku ga ngerti kenapa Kak Austin lebih suka dia daripada Kak Johanna. Padahal Kak Johanna lebih baik kayaknya daripada Kak Elena."
Aku terkejut. "Maksudnya?"
"Iya, pasti Kakak pikir Kak Austin pacarnya Kak Johanna kan? Yang sebenarnya terjadi itu pacarnya Kak Austin adalah adiknya Kak Johanna, Kak Elena."
Aku jadi teringat masa lalu ketika Gina memberitahukanku tentang pacar Austin.
***
Kantin Kampus, 2010
Aku dan Gina sedang makan siang bersama di kantin kampus. Kami membeli dua mangkuk bakso jumbo lengkap dengan bihun dan sayuran hijau. Saat kami menyantap bakso itu, tiba-tiba Gina berkata sambil melihat ke arah belakangku, "Cantik banget."
Aku menoleh ke belakang dan mengikuti pandangan Gina. Ia sedang membicarakan tentang seorang perempuan blasteran yang sedang duduk mengobrol dengan beberapa orang lainnya yang aku rasa adalah teman-temannya. Kayak pernah lihat, pikirku. Tapi aku tidak ingat kapan dan dimana.
"Siapa itu emangnya?" tanyaku sambil melahap bihun.
"Lo kenal Austin kan?" Aku mengangguk. "Nah, gue denger itu pacarnya."
Aku langsung tersedak. Aku batuk untuk beberapa lama-mungkin ada selama setengah menit. Setengah menit untuk waktu batuk karena tersedak lumayan lama juga. Gina membantuku dengan menepuk-nepuk punggungku.
"Lo kenapa? Kok lo kaget gue kasih tau gitu?" tanya Gina yang aku jawab dengan batuk.
Selagi masih terbatuk, aku teringat kalau aku pernah bertemu dengan perempuan itu ketika tragedi angkat meja itu. Dia adalah yang membantu Austin ketika kakinya terluka.
Rumah, 2018
Ketika itu, aku belum tahu siapa nama perempuan itu. Aku baru tahu nama perempuan itu ketika aku melihat wajahnya ada di spanduk besar 'Mahasiswa Berprestasi' dengan namanya ada di bawahnya. Johanna De Jong.
Tapi sekarang aku baru sadar. Kalau yang ditunjuk oleh Gina di kantin waktu itu adalah Elena, bukan Johanna. Wajah mereka sangat mirip. Seperti kembar.
Salahku juga karena waktu itu aku tidak menanyakan nama perempuan yang dibicarakan Gina itu siapa. Coba kalau aku tanya, mungkin dia akan menjawab itu Elena. Dan aku tidak akan salah paham sampai saat ini.
--------------------------------------------------------------
*share loc (location): membagikan lokasi keberadaan yang dapat dibagikan melalui aplikasi chatting
**giveaway: pembagian secara cuma-cuma

KAMU SEDANG MEMBACA
Me & Her Brothers
RomanceAgita adalah seorang perempuan yang penuh dengan mimpi menjadi seorang animator. Dia bekerja menjadi seorang animator di salah satu studio animasi lokal. Semuanya berjalan dengan damai sampai akhirnya ada salah satu karyawan baru di perusahaan anima...